Belasan anak kecil berlarian. Larinya sangat berhati-hati karena disekitarnya ada kubangan yang cukup lebar. Mereka kemudian tergopoh-gopoh bersembunyi dibalik pepohonan.
Para ibu yang berada di tepi kubangan tak menyeksamai polah mereka. Sebab ada setumpuk cucian yang masih membutuhkan fokusnya. Mereka memanfaatkan kubangan itu untuk mencuci pakaian.
Pepohonan, kubangan air, rumah-rumah penduduk, serta aktivitas warganya terpotret dengan baik yang menggambarkan nuansa asri khas perkampungan.
Suasana yang terlihat asri itu kemudian buyar, manakala sebuah suara indah menarasikan bahwa di lokasi tersebut banyak ditemukan anak yang terkena stunting.
Ya, saya sedang menyaksikan video dokumenter sebagai pengantar Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Stunting yang diselenggarakan Kemensos RI setahun lalu. Tepatnya 31 Mei hingga 4 Juni 2021.
Lewat pelatihan tersebut, para Pendamping Kesejahteraan Sosial seperti kami mendapat tugas tambahan untuk ikut bergabung dalam rencana aksi dalam mencegah dan menangani stunting. Tentu di lingkup wilayah kerja masing-masing.
Tabel Konten
Pengertian Stunting
Kita semua tentu sering mendengar apa itu stunting. Sebab istilah yang satu ini terasa begitu familiar. Ada begitu banyak pamflet, poster, baligho, spanduk, yang menyebutkan stunting.
Buat yang belum tahu, secara sederhana stunting dipergunakan untuk menyebut sebuah kondisi dimana seorang anak mengalami kegagalan dalam bertumbuh dan berkembang.
Ia dicirikan dengan berat badan dan tinggi badan yang berada dibawah rata-rata anak seusianya. Kemudian terjadi gangguan metabolisme yang membuat anak jadi mudah sakit.
Yang menjadi persoalan adalah stunting ini tidak bisa dideteksi sejak awal. Misalnya seorang ibu yang mengandung bisa serta-merta langsung divonis anaknya terkena stunting. Tidak bisa seperti itu.
Maka yang ada hanyalah bentuk pencegahan agar si anak yang dilahirkan kemudian tidak terkena stunting. Dan ini dimulai sejak anak tersebut berada di kandungan ibunya.
Waktu yang vital dan menentukan anak tersebut bisa terkena stunting atau tidak adalah pada masa 1.000 HPK atau Hari Pertama Kehidupan. Masa ini dihitung dari 9 bulan kandungan dan setelah bayi berusia 2 tahun.
Apabila ibu hamil abai dan tidak didukung oleh sistem yang baik untuk pemenuhan gizi bayi tersebut, maka potensi anak terkena stunting bakal tinggi.
Saat ini prevalensi stunting di Indonesia masih 24,4 persen dari 23 jutaan anak. Berarti ada 5,6 jutaan anak yang terkena stunting terhitung tahun 2021 lalu. Berarti jika dirata-rata ada 164 ribuan anak di setiap provinsi di Indonesia yang terkena stunting.
Data yang dikutip dari Detik.com itu disebut oleh Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, pada Maret 2022 lalu. Angka tersebut, menurutnya masih berada dibawah standar WHO yang memberi toleransi angka stunting pada 20 persen.
Angka itu sebetulnya turun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Bahkan jika dibanding pada tahun 2018, angka tersebut sudah turun 6,4 persen dari jumlah 30,8 persen. Tapi apalah artinya angka bukan? Sebab satu anak tetaplah penerus bangsa.
Lantas seperti apa upaya pencegahan dan penanganannya?
Keterbatasan
Potensi stunting itu selalu terjadi pada anak dari keluarga yang dikategorikan pra-sejahtera. Dan kategori ini memang dimiliki oleh 87% dari warga dampingan saya. Sisanya yang 13% memang sedang beranjak ke proses sejahtera dan akan digraduasi.
Jadi penghambat utama dari pencegahan terhadap stunting ini nyaris selalu masalah ekonomi. Akses terhadap makanan bergizi dan lingkungan yang sehat memang masih jauh dari harapan.
Kebetulan di wilayah dampingan saya merupakan wilayah yang dekat dengan perkotaan. Kebanyakan penduduknya bekerja sambilan sebagai kuli kembang api dan petasan.
Jadi ketika berbicara makanan bergizi dan lingkungan yang sehat tentu masih perlu upaya keras buat mewujudkannya. Sebab mau mewujudkan pekarangan sehat, tapi lahannya terbatas. Berbicara lingkungan sehat pun agak susah, sebab tiap hari bersentuhan dengan bahan kimia berbahaya.
Tapi untunglah catatan stunting di daerah ini tidak banyak. Yang pernah ditemukan baru-baru ini adalah anak dengan potensi gizi buruk. Dan itu segera ditangani oleh berbagai pihak.
Lantas seperti apa model pencegahan dan penanganan stunting yang tepat di wilayah semacam ini?
Upaya Mencegah Lewat Edukasi
Setelah setahun menyampaikan modul pertama soal kebijakan dan pengertian stunting, laporan terkait identifikasi stunting mulai tampak.
“Pak, anaknya Ibu X kecil saja, ya. Sering sakit-sakitan juga. Apa jangan-jangan stunting?” lapor Ibu Ani, salah satu ketua kelompok.
Akhir bulan kemarin laporan tersebut mendarat lewat WhatsApp. Sayapun bergegas melakukan koordinasi dengan bidan setempat untuk meminta kejelasan. Dan ternyata anak tersebut bukan terkena stunting.
“Bukan, Pak. Saya juga dilapori Ibu Ani disaat yang sama. Berdasarkan hasil pemeriksaan, anak tersebut punya gejala gizi buruk. Jadi, bukan stunting,” terang Ibu Evi, bidan desa setempat.
Ibu bidan pun menjelaskan bahwa stunting terjadi selalu dimulai dari kebiasaan ibu ketika mengandung. Jadi sosialisasi dan edukasi lebih baik digalakkan saat usia produktif sebelum terjadi kehamilan.
“Lebih baik lagi koordinasi dan edukasi itu terjadi sepanjang waktu. Jadi kapanpun mereka butuh petugas seperti kita, mereka bisa menghubungi secara cepat. ‘Kan sudah zaman internet,” tambahnya.
Ya, sekarang sudah zaman internet. Laporan yang masuk terkait stunting pun kebanyakan memang masuk lewat WhatsApp. Bahkan di beberapa wilayah lain, kondisi luar biasa di bidang kesehatan selalu lebih cepat viral dibanding pelaporannya ke instansi terkait.
Ini yang menjadi pekerjaan rumah. Yakni mengantisipasi agar kondisi luar biasa di bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial tidak viral terlebih dahulu. Sebab sesuatu yang viral kadang memancing berbagai problema lain yang kadang menghambat penanganan masalah utamanya.
Manfaat Internet dalam Pencegahan dan Penanganan Stunting
Laporan Ibu Ani diatas tentu merupakan manfaat internet. Namun sayangnya, tak semua ketua kelompok punya akses yang sama terhadap internet.
Ketua kelompok ini merupakan ibu-ibu yang membantu saya dalam mengumpulkan ibu-ibu peserta program lainnya untuk pertemuan rutinan setiap bulan. Jumlah di wilayah saya ada 11 yang mengetuai 11 kelompok juga.
Internet Mempercepat Koordinasi dan Pelaporan
Ibu Ani ini kebetulan terbantu oleh akses internet tetangganya yang memasang Wi-Fi. Kadang-kadang ia menumpang dengan membeli voucher untuk durasi waktu tertentu.
Jadi ketika di rumah, ponselnya bisa terhubung ke internet tanpa harus membeli voucher internet provider seluler yang menguras kantong.
Sayangnya itu tak dimiliki oleh ketua kelompok yang lain. Sehingga beberapa diantaranya sering terhambat untuk menyampaikan sesuatu. Jadi laporan yang disampaikan kerap terlambat.
Jika semua orang bisa mengakses internet dengan mudah, maka pola koordinasi untuk mencegah dan menangani stunting bisa lebih efektif dan efisien.
Membuka Akses Informasi Lebih Luas Tentang Stunting
Proses edukasi stunting tidak hanya berhenti pada pengertian stunting dan ciri-ciri anak yang terkena stunting saja. Namun lebih luas dari itu, yakni berbicara pada bagaimana pencegahannya.
Keterbatasan pendamping kesejahteraan sosial, petugas kesehatan, serta aparat dari instansi terkait lainnya adalah tidak bisa setiap saat memantau dan memberikan edukasi terkait stunting. Apalagi bagi mereka yang jarang hadir pada pertemuan rutin bulanan.
Ada juga yang memang tak tersampaikan karena keterbatasan waktu. Misalnya soal mengubah pekarangan yang sempit jadi stok kebutuhan pangan yang bergizi. Namun semua materi itu bisa didapatkan di internet.
Pembelajaran materi penunjang bisa dilakukan lewat daring (dalam jaringan).
Bahkan penjelasan stunting itu sendiri, buat yang tak bisa hadir pertemuan rutin, bisa diakses di berbagai sumber yang melimpah di internet. Di beberapa kesempatan, saya juga membuka YouTube untuk menyampaikan video pembelajaran dan dokumenter terkait persoalan stunting ini.
Sayangnya akses internet kerap menjadi barang mewah bagi kebanyakan peserta program saya yang kondisinya sudah dijelaskan diatas. Bahkan untuk akses ekonomi, pendidikan, dan kesehatan saja masih angin-anginan.
Namun tentu tak ada yang tak bisa jika ada niatan.
Pola Internet Masuk Pos Kamling
Saat ini yang terpikirkan di kepala saya adalah penggunaan modem repeater di setiap pos kamling. Modem ini bakal menerima sinyal Wi-Fi dari balai desa yang berlangganan IndiHome setiap bulan.
Langganan itu dibiayai oleh APBDes karena mengejawantahkan program Lebu Digital (Le-Dig) yang menjadi bagian dari program pemerintah kabupaten. Program ini tentu saja bukan menjadi bagian dari pencegahan dan penanganan stunting. Namun fasilitas ini tentu sangat bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan tersebut.
Jadi tinggal memikirkan pemancar sinyalnya saja yang diperlukan untuk menjangkau pos-pos kamling di berbagai blok. Harga pemancar untuk menguatkan sinyal Wi-Fi atau kadang disebut juga modem repeater itu berkisar di harga Rp300-ribuan.
Setelah itu jika modem repeater itu sudah terpenuhi, maka semua peserta program tak perlu jauh-jauh ke balai desa. Cukup ke pos kamling terdekat yang ada di tiap RT untuk mengakses internet.
Keberadaan internet cepat yang dekat dan stabil juga mampu memberikan dampak ekonomi yang bagus terhadap keluarga yang memiliki produk untuk usaha rumahannya. Lewat internet, mereka bisa mengakses media sosial untuk memasarkan produknya itu.
Jika ekonomi baik, maka akses terhadap makanan bergizi jadi lebih meningkat. Pendamping dan tenaga kesehatan tinggal memberikan motivasi dan menguatkan sistem untuk mencegah stunting.
Kenapa IndiHome?
IndiHome alias Indonesia Digital Home merupakan salah satu produk layanan dari Telkom Indonesia. Layanan ini merupakan pilihan yang paling masuk akal saat ini. Jika dibandingkan dengan layanan seluler, yang mana kerap terhalang blank spot, maka koneksi fiber optic dari IndiHome jadi solusi.
IndiHome merupakan internetnya Indonesia, jangkauannya luas, sambungannya sudah menjangkau kemana-mana. Ya, termasuk desa dampingan saya ini.
Harga paket internetnya juga terjangkau. Untuk pasang baru kini hanya dikenai Rp150.000 saja (dalam masa promo). Anda bakal mendapatkan kecepatan internet hingga 30 Mbps dengan biaya layanan Rp200-ribuan perbulan. Ya, tidak membebani keuangan desa secara signifikan.
Penutup
Pada akhirnya pencegahan dan penanganan stunting memang kembali pada komitmen bersama. Sebab ibu hamil yang mengandung anak tersebut membutuhkan sistem pendukung untuk menjaga agar kandungannya mendapatkan asupan gizi baik, lingkungan pendukung yang baik, serta dukungan moral yang penuh dari orang terdekatnya.
Untuk itulah sosialisasi, edukasi, dan koordinasi harus terus dilakukan guna membangun komitmen tersebut. Sebab ketika anak sudah terlahir stunting dan melewati masa dua tahun setelah kelahirannya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menambah berat badannya dengan pemenuhan gizi.
Maka pencegahan stunting itu penting. Untuk itu fasilitas untuk mewujudkannya juga sama pentingnya. Salah satunya koneksi internet lewat IndiHome.
Kecepatan dan keakuratan informasi sangat diperlukan apalagi untuk informasi mengenai kesehatan seperti penanganan stunting.