Huawei merupakan nama yang diperhitungkan di industri teknologi global. Pabrikan asal China ini merangsek ke Amerika dan Eropa dengan keunggulan teknologi perangkat komunikasinya. Kalau ditotal, ada 70 cabang industri yang memproduksi berbagai macam dukungan terhadap keberlangsungan nama Huawei. Namun tentu yang saya dan anda kenal barangkali hanya smartphone, baik dengan nama Huawei maupun Honor.

Smartphone Huawei, termasuk Honor didalamnya, mendapatkan pangsa pasar yang cukup tinggi secara global. Pada kuartal pertama tahun 2019, mereka mengapalkan setidaknya 59,1 juta smartphone atau menguasai setidaknya 17% pangsa pasar dunia. Hal ini menandakan Huawei tumbuh sekitar 50% dibanding kuartal yang sama pada tahun lalu yang hanya mengapalkan 39,3 juta perangkat saja. Dengan jumlah sebesar ini, Huawei memposisikan diri sebagai runner-up penguasa pasar menguntit Samsung yang ada di puncak klasemen.

Besarnya nama Huawei di industri telekomunikasi secara umum tentu merupakan angin yang segar bagi China. Pabrikan yang berasal dari negeri tirai bambu ini tentu menjadi salah satu perlambang bagi digdayanya ekonomi negara tersebut. Namun semakin tinggi pohon tumbuh, maka angin yang bertiup tentu lebih kencang. Begitulah yang terjadi dengan Huawei.

Ekonomi China yang semakin meraksasa, membuat pemimpin di negerinya sejajar dengan pimpinan negara besar lainnya. Salah satu pemimpin tersebut adalah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Pada 1 Desember 2018 lalu, Xi Jinping dan Donald Trump terlibat pertemuan bilateral dengan mengambil momentum G20 di Buenos Aires, Argentina. Hasil dari pertemuan tersebut adalah sebuah kesepakatan \’gencatan senjata\’ dari perang dagang antara China dan AS yang selama ini terjadi.

Sayangnya, pertemuan tersebut kemudian dicederai oleh penangkapan Meng Wanzhou, kepala bidang keuangan Huawei sekaligus putri tertua Ren Zhengfei, di Kanada saat transit di Bandara Vancouver. Buat yang belum tahu, Ren Zhengfei adalah pendiri dan CEO Huawei. Penangkapan yang dilakukan otoritas Kanada tersebut merupakan permintaan AS karena Wanzhou dituduh melanggar sanksi terhadap Iran.

Dua bulan kemudian masalah tersebut membesar. Departemen Kehakiman AS mendakwa Meng dan juga Huawei telah menyesatkan pihak bank dan pemerintah AS atas bisnis mereka di Iran. Selain dakwaan tersebut, mereka dituduh menghalangi upaya penegakkan hukum dan melakukan percobaan untuk mencuri rahasia perdagangan yang terkait dengan alat robotik yang dikembangkan T-Mobile bernama Tappy. Huawei dan Meng membantah tuduhan tadi.

Tappy merupakan sebuah tiruan jari tangan manusia yang bisa menyentuh layar smartphone dengan cepat untuk uji responsivitas. Huawei bermaksud membelinya dari T-Mobile, namun ditolak sebab khawatir teknologi ini bakal dipergunakan untuk menyaingi T-Mobile sendiri. Sayangnya salah satu karyawan Huawei diduga menyelundupkan Tappy ke China. Namun fakta persidangan mengungkap kalau karyawan itu beraksi sendirian, tanpa menyeret Huawei.

Hanya saja bukti lanjutan menuntun kepada keberadaan skema internal Huawei yang memberikan iming-iming bonus kepada karyawan di AS. Bonus ini akan diberikan manakala karyawan tersebut mendapatkan informasi dagang perusahaan lain. Ya, mirip-mirip pencurian. Dan bisa ditebak, Huawei membantahnya dengan keras.

Gelombang tantangan bagi Huawei pun berlanjut saat jaringan 5G mulai diterapkan. Jaringan yang menjanjikan kecepatan unduh yang lebih cepat 10 hingga 20 kali lipat dari sekarang ini membuat pemerintah AS merasa khawatir. Kekhawatiran ini dipicu aturan dalam negeri China yang menyatakan kalau perusahaan China tidak boleh menolak permintaan bantuan dari pemerintahnya dalam upaya pengumpulan informasi intelijen.

Meski Ren Zhengfei membantahnya, tak bisa dipungkiri kalau China dibawah Xi Jinping memang terkesan otoriter. Apalagi beberapa kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah yang berbasis Partai Komunis China itu mengharuskan petinggi perusahaan mematuhi komitmen moral dan sosial negara. Sehingga imbasnya, banyak petinggi perusahaan yang merangkap juga sebagai anggota Partai Komunis.

Trump Larang Google dan Perusahaan Lain Bekerjasama dengan Huawei

Singkat cerita, basis kekhawatiran diatas yang dibumbui dengan beberapa rangkain peristiwa yang mengekor membuat Presiden AS, Donald Trump akhirnya mengeluarkan aturan yang cukup mengejutkan dalam lanjutan perang dagang ini. Trump menandatangani aturan kalau perusahaan AS tidak boleh bekerjasama dengan Huawei. Aturan yang dieksekusi oleh Departemen Perdagangan AS ini bahkan secara detail menyebut 68 sub-usaha Huawei juga masuk kedalamnya atau disebut juga \’Entity List\’.

Dampak dari pelarangan bisnis perusahaan AS oleh Trump ini memang cukup memukul, tak cuma Huawei, tapi juga industri teknologi AS sendiri yang mayoritas berbasis di Silicon Valley. Fakta kalau industri ini terpukul adalah turunnya saham perusahaan-perusahaan di California tersebut. Sebabnya ada potensi pendapatan yang bakal hilang hingga US$11 miliar atau Rp159 triliun. Pendapatan itu merupakan hasil dari pembayaran yang biasa dilakukan Huawei karena membeli hardware dari Intel, Infineon, Qualcomm, Qorvo, Micron Technology, Western Digital, Broadcom, dan Xilinx, serta software dari Microsoft dan Google.

Ini pun belum dihitung kalau China melakukan aksi balas dendam. Salah satu yang bakal terpengaruh dengan aksi China atas perlindungannya terhadap Huawei mungkin akan memengaruhi Apple. Pasalnya, pabrikan smartphone kebanggaan AS ini merakit perangkatnya di China yang dikenal punya tenaga kerja yang jauh lebih murah dibandingkan di AS. Kalau dipindah pabrik perakitannya, kemungkinan bakal memakan waktu lama dan tentu bakal berdampak naiknya harga Apple.

Trump mungkin tidak paham kalau aturan yang sedianya menuruti kekhawatiran akan spionase dari Huawei ini berdampak serius bagi industri dalam negerinya. Pasalnya rantai ketergantungan antara Huawei dan perusahaan AS sudah berlangsung cukup lama dan saling menguntungkan. Kalangan industrialis AS pun sempat mengatakan kalau Trump memang bodoh. Ia tidak memahami persoalan ini.

Latar belakang ekonomi Trump berbasis pengusaha properti. Ia pun lebih mirip dengan makelar properti yang menunggu harga tanah naik kemudian menjualnya, atau sebaliknya, ketika tanah berharga murah ia membelinya. Ia juga hanya paham industri media dan hiburan. Makanya rantai industri terutama industri teknologi semacam ini tidak masuk di kepalanya.

Nah, bagaimana dengan Huawei sendiri?

Huawei ternyata sudah mengantisipasinya jauh-jauh hari sebelum memanasnya perang dagang antara China dengan AS. Salah satunya mereka sudah menyetok chipset dari Silicon Valley untuk keperluan 12 bulan kedepan. Mereka mungkin terpukul dengan bakal hilangnya beberapa layanan mayor dari Google yang biasanya ada di smartphone.

Aturan Trump diatas mengatur larangan bagi perusahaan AS untuk bekerjasama dengan Huawei. Makanya Alphabet, induk dari Google, masuk didalamnya. Ini berarti Huawei tak bisa lagi memasang GMail, Google Search, Google Maps, Play Store, dan layanan Google lainnya. Aturan tersebut akan berlaku bagi smartphone yang akan diproduksi. Kalau yang sudah diproduksi, layanan tersebut masih bisa berjalan di smartphone Huawei, cuma tidak akan mendapatkan update dari Google.

Untuk Android sendiri, tampaknya Huawei masih tetap mempertahankannya. Hal ini dikarenakan Huawei masih belum berhasil mengembangkan sistem operasinya sendiri diluar ekosistem Android. Dan kedepan Huawei pun masih bisa memakai Android, karena sistem operasi ini bersifat open-source yang berbasis komunitas yang bisa diperoleh oleh siapapun. Ya cuma tadi, layanan Google yang lain tak boleh dipakai.

Nah, bagaimana buat anda yang berencana membeli smartphone Huawei maupun Honor? Ya tak masalah, sebab smartphone yang telah diproduksi masih tetap mendapatkan layanan Google sebagaimana mestinya. Tentu menjadi berbeda kalau anda berniat membeli Honor 20 yang akan dirilis beberapa hari kedepan di London, Inggris. Kita nantikan kejutan apa yang diberikan Huawei.

Shares:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *