Akhir Agustus kemarin, ada teman yang meminta rekomendasi guna membeli ponsel baru. Jujur agak riskan sebetulnya kalau ada permintaan semacam ini. Pasalnya selepas itu biasanya saya dituduh tiga hal: pertama buzzer ponsel, kedua jadi sales lepas, dan ketiga mendapat fee gede.
Untuk orang-orang yang menuduh itu, biasanya saya meminta balik ke mereka untuk membaca blog saja, atau searching di Google untuk mendapatkan rekomendasi yang lebih banyak dan mungkin lebih baik. Namun kali ini tidak, ia tetap ngotot untuk meminta rekomendasi dari saya secara langsung.
Maka saya pun menjawab dengan yakin bahwa ia mesti membeli Huawei P20 Pro. Sebuah ponsel flagship yang sukar dicari kelemahannya, karena ya memang terlalu banyak kelebihannya. Ibarat kata, kalau ada seseorang membeli Huawei P20 Pro, maka ia membeli kamera DSLR namun bonusnya ponsel dengan performa jempolan. Menang banyak lah pokoknya.
Teman saya kemudian bertanya, “Berapa harganya?”
Ketika saya menjawabnya dengan angka Rp12 juta, ia tertawa masam. Saya pun memahami, mungkin ia tak menganggarkan budget sedemikian besar. Lantas saya memberikan tawaran kepadanya kalau ada ponsel Huawei lain yang mirip, namun dibanderol dengan harga sepertiganya saja dari Huawei P20 Pro.
\”Sebentar, kamu bukan sedang menjadi buzzer \’kan? Atau mendadak sales dan sedang mencari fee yang besar dari sales Huawei?\” Ya, kekhawatiran saya atas tiga tuduhan itu dilontarkannya dalam satu tarikan nafas. Bikin kzl.
Saya tiba-tiba ingin mundur saja dari perekomendasi ponsel yang tidak ada honornya ini. Lebih baik langsung saja membantu saudara yang punya toko ponsel di tengah kota Indramayu. Fee-nya jelas meski tak besar, ya kalau mau lebih besar lagi meski siap didandani jadi maskot dan berjoged. Tetapi entah malaikat dari mana yang membisikkan saya untuk tenang dan tetap meladeninya.
Akhirnya saya pun menjelaskan mengapa dari Huawei P20 Pro lantas berpindah ke produk Huawei lagi. Sebuah nama yang tidak begitu terdengar gaungnya di tanah air, tak sering disebut-sebut oleh netizen, apalagi di kota saya yang balihonya saja tak pernah kelihatan. Maka wajar jika teman saya ini bertanya mengapa Huawei?
Huawei Menjadi Urutan Kedua di Dunia
Akhir Juli, sebuah data yang dirilis International Data Corporation (IDC) menempatkan Huawei di posisi kedua sebagai merek ponsel terlaris secara global. Iya, global. Data pada kuartal kedua tahun 2018 tersebut mencatat pabrikan Cina ini mengapalkan 54,2 juta unit ponsel atau setara dengan 15,8 % pangsa pasar global.
Meski ditilik di pasar Indonesia, Huawei memang belum masuk lima besar. Namun pelan tapi pasti, pasar lokal biasanya tak akan berbeda jauh dengan pasar global. Ini cuma soal waktu. Sebab apa yang dilakukan Huawei memang selazimnya perusahaan teknologi, yakni melakukan riset dan pengembangan tanpa henti.
Anggaran riset dan pengembangan Huawei mencapai USD 13,3 miliar pada 2017. Budget sebesar ini menempati urutan keenam dan menempati urutan kedua diantara pabrikan pembuat ponsel lainnya. Besarnya anggaran ini membuat fasilitas riset Huawei berada di berbagai kota besar dunia, seperti Berlin untuk riset jaringan 5G, San Fransisco untuk riset desain UX, London untuk pusat analisa data, Moskow untuk riset algoritma, dan Paris untuk pusat desain estetika.
Apakah anggaran riset memegang peranan yang begitu penting? Iya. Setidaknya setiap produk baru yang diluncurkannya bakal membawa teknologi baru pada perangkat. Ia bukan semata melakukan imitasi dari produk yang sudah beredar di pasaran maupun yang sedang tren. Seperti apa contohnya?
Sebagai contohnya, saya memberikan penjelasan pada ponsel yang disebutkan harganya sepertiga dari Huawei P20 Pro diatas. Karena kalau memakai penjelasan dengan Huawei P20 Pro, tentu tak aneh \’kan? Wajar lah ponsel mahal, makanya bagus. Gitu.
Ya, namanya Huawei Nova 3i. Ponsel ini memang belum lama dirilis di tanah air, yakni pada akhir Juli 2018. Harganya dibanderol di angka Rp4,2 juta. Ada empat hal mengapa ponsel ini cocok untuk dijadikan contoh betapa Huawei tidak sia-sia menganggarkan budget besar dalam risetnya.
Desain Membanggakan dan Bukan Contekan
Huawei Nova 3i memakai layar IPS LCD dengan lebar 6,3 inci dengan rasio 19,5:9. Bezelnya tipis yang kalau dirasiokan sebesar 82,2 % dan memiliki poni diatasnya. Untuk yang khawatir benturan, layar ini telah dilapisi pelindung Gorilla Glass 4.
Yang memikat dari Huawei Nova 3i adalah bodi bagian belakangnya. Bodi ini dilapisi kaca yang membuatnya mengkilap dan terkesan mewah. Huawei membawa dua varian warna untuk tanah air, yakni warna black dan iris purple. Khusus untuk iris purple, desain warna yang sama ditemukan pula pada Huawei P20 Pro dengan sebutan twilight.
Baik twilight maupun iris purple merupakan sebuah inovasi Huawei dalam mendesain bodi belakang ponsel. Pada iris purple Huawei Nova 3i, pertemuan warna biru dengan warna ungu menjadikan bagian belakang ponsel ini sangat cantik. Makanya pola gradasi semacam ini menjadi trend setter baru di industri ponsel. Huawei menjadi pelopor, dan disinilah kita paham mengapa riset menjadi sangat penting. Setidaknya kalau dibawa nongkrong, orang-orang tidak melihat ponsel anda sebagai contekan.
Empat Kamera, Lensa Aspherical, dan Canggih
Huawei Nova 3i memiliki empat kamera. Yang pertama berada di depan dengan konfigurasi 24 megapiksel dan 2 megapiksel. Kamera dengan resolusi besar bertugas untuk melakukan perekaman detail, sementara yang beresolusi kecil itu bertugas menghasilkan efek buram pada latar belakang alias bokeh.
Kamera bagian belakang pun begitu. Ada konfigurasi dua kamera dengan resolusi masing-masing 16 megapiksel dan 2 megapiksel. Mekanismenya sama seperti kamera depan, yakni yang resolusinya besar untuk merekam detail, yang kecil untuk membuat bokeh. Namun ada yang menarik disini, yakni ada tulisan ASPH dibawah kamera belakang tadi.
ASPH ini merupakan singkatan dari lensa aspherical. Saya sudah pernah membahasnya pada artikel sebelumnya. Singkatnya, lensa aspherical merupakan perbaikan dari lensa spherical yang banyak dipakai di kamera manapun. Lensa aspherical memiliki dimensi yang lebih tipis dari lensa spherical, namun memiliki fungsi mengurangi dispersi yang signifikan. Dispersi adalah perubahan dari warna putih ke warna pelangi seperti peristiwa pada prisma cahaya.
Pada kamera Huawei Nova 3i ini pun ada kecerdasan buatan (AI) yang mampu memisah-misahkan citra objek dan menggabungkannya kembali untuk mendapatkan hasil foto terbaik. Huawei menyebutnya multichannel image recognition. Keren \’kan?
Dapur Pacu Yang Kuat dengan Memori Jumbo
Hasil riset Huawei pun menghasilkan in-house chipset yakni Kirin. Untuk Huawei Nova 3i sendiri memakai Kirin 710 dengan prosesor octa-core berkecepatan 2,2 GHz, grafis Mali-G51 MP4, dan untuk di Indonesia hanya tersedia varian RAM 4 GB dan memori internal 128 GB.
Untuk chipset sendiri, Kirin 710 merupakan chipset yang cukup kuat di kelasnya. Performa chipset ini mengungguli chipset dari Huawei P20 Lite yang memakai Kirin 659. Kalau dibandingkan dengan chipset lain, Kirin 710 lebih unggul beberapa hal jika dibandingkan dengan Snapdragon 660, misalnya untuk kecepatan unduh dan kecepatan proses maksimal prosesor.
Memori internal sebesar 128 GB tentu membuat kapasitas perangkat menjadi lega. Sepengalaman saya, jarang yang menghabiskan memori sebanyak itu apabila menggunakan ponselnya buat kebutuhan fotografi dan videografi semata. Cuma lain soal apabila dipergunakan untuk mengoleksi game high-end pada satu perangkat.
Ada GPU Turbo untuk Pengalaman Gaming Lebih Baik
Selain chipset yang kuat untuk berurusan dengan fotografi dan multitasking, Huawei Nova 3i pun jago untuk diajak urusan gaming. Apalagi Huawei sendiri sedang mengembangkan GPU Turbo yang telah dipakai di beberapa ponsel Huawei dan anaknya, Honor.
Nah, ini satu lagi bukti kalau anggaran riset Huawei itu berguna banget buat pengembangan perangkatnya sendiri. Dan tentu saja penggunanya bakal dimanjakan dengan peningkatan-peningkatan software yang ada di perangkatnya.
GPU Turbo ini menjadi bukti sahih atas hasil riset Huawei sekaligus menandakan Huawei Nova 3i cocok untuk siapapun yang hobi bermain game. GPU Turbo, sesuai namanya, bertugas meningkatkan performa grafis (GPU) sehingga gambar yang dihasilkan lebih halus dan lancar. Penggunaan daya ketika perangkat mengaktifkan GPU Turbo pun lebih irit 30 %.
Empat kelebihan itu saya sampaikan kepada teman saya yang berniat membeli ponsel tadi. Namun ada satu hal yang ia tanyakan lagi pada saya.
\”Kalau Huawei begitu hebat, mengapa gaungnya jarang terdengar di Indonesia?\”
\”Ya kalau kamu tahu jaringan telekomunikasi di Indonesia, niscaya tak ada pertanyaan ini. Huawei sudah hadir disini sejak 18 tahun silam, bro. Bisa dibayangkan berapa tower yang sudah mereka bangun, modem yang mereka buat, dan manfaat dari itu semua.\”
Ia pun mengangguk. Entah anggukan paham, atau hanya alasan agar ia bisa segera pergi.
Demikian artikel tentang kelebihan Huawei Nova 3i ini. Ponsel ini memang layak untuk menjadi ponsel baru anda di tahun 2018. Jika ada yang kurang dari ponsel ini atau ada yang ditanyakan, silakan paparkan di kolom komentar, dan saya akan menjawab semampunya. Terima kasih.
Untuk versi lain dari ulasan mengenai spesifikasi Huawei Nova 3i, silakan kunjungi tulisan saya di Mojok.co.
——
Tulisan ini diikutsertakan pada Oom Boy Punya Gawe Berhadiah Huawei
4 Alasan Mengapa Huawei Nova 3i Wajib Dipinang