Sedikit dari sisi politik, saya telah menulis persoalan Huawei versus Amerika Serikat dalam artikel Huawei, Android, dan Politik Ala Trump. Cuma diluar sana, terutama para pengguna Huawei (dan Honor) kerap bertanya-tanya masalah perang dagang ini dan imbasnya pada smartphone mereka.

Sebetulnya kalau saja membaca runut di media massa, persoalan ini cukup terang. Cuma media massa jarang menempatkannya dalam satu artikel utuh. Kadang artikel tersebut terpisah-pisah dan lebih sering lagi disertai clickbait yang menyesatkan. Hal ini diperparah dengan budaya literasi yang cukup rendah diantara kita.

Sebagaimana diketahui, huru-hara Huawei ini bermula dari ditandatanganinya sebuah aturan dagang yang disebut Huawei Entity List oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada pertengahan Mei 2019. Aturan ini menyebutkan secara detail bahwa perusahaan Amerika Serikat tidak boleh bekerja sama dengan perusahaan Huawei dan 68 anak usahanya. Itu artinya Google, Facebook, Intel, dan kawan-kawannya yang notabene perusahaan Amerika dilarang melakukan kerjasama dengan Huawei.

Huawei Entity List

Aturan \’Entity List\’ yang dibuat oleh Biro Keamanan Industri, Departemen Perdagangan Amerika Serikat ini dimunculkan dengan alasan bisnis Huawei mengandung ancaman terhadap keamanan nasional Amerika Serikat. Aturan dengan nomor 190513445–9445–01 tersebut memiliki sifat yang tidak berlaku surut. Artinya, segala macam perangkat Huawei yang sudah dan sedang diproduksi tidak akan terpengaruh oleh aturan tersebut.

Segala macam perangkat Huawei yang sudah dan sedang diproduksi tidak akan terpengaruh oleh aturan entity list. Hanya perangkat yang akan diproduksi pasca-entity list saja yang terpengaruh.

Jadi kalau anda memiliki smartphone Huawei sebelum aturan ini berlaku, maka semua perusahaan Amerika Serikat yang bekerjasama dalam pembuatan smartphone tersebut tetap ada. Google, Facebook, dan segala macamnya akan tetap ada dan memberikan pembaruan terhadap smartphone tersebut sesuai kerjasama di awal.

Hal yang sama pun berlaku untuk smartphone yang sudah \’terlanjur\’ diproduksi meskipun belum dikapalkan ke pasar. Jadi perlu dicatat kalau semua smartphone Huawei saat artikel ini ditulis masih memiliki kerjasama dengan perusahaan Amerika Serikat.

Entity list tersebut ditunda penerapannya oleh Amerika hingga 90 hari sejak ditandatangani. Yang artinya Huawei memiliki waktu lebih panjang untuk menyiapkan langkah selanjutnya dalam memproduksi perangkat selanjutnya.

Huawei memiliki dua masalah pokok yang terkait dengan pembuatan perangkat selanjutnya. Pertama, masalah itu muncul setelah ARM memutus kontrak setelah mematuhi entity list. Pasalnya chipset in-house milik Huawei, yakni HiSilicon Kirin, memakai desain arsitektur chipset yang lisensinya dimiliki oleh ARM.

ARM sebetulnya perusahaan asal Inggris, dimiliki oleh perusahaan Jepang, Softbank, namun mereka memiliki kantor di Amerika Serikat yang dipergunakan untuk mendesain arsitektur chipset dan mendapat lisensinya juga di negeri Paman Sam. Jadi mau tak mau, ARM mengikuti prosedur dagang yang dijalankan oleh pemerintah Amerika Serikat.

Untunglah informasi terbaru menyatakan kalau Huawei tetap bisa memproduksi HiSilicon Kirin. Sebab chipset in-house ini sudah memiliki lisensi sendiri yang merupakan pengembangan dari desain ARM. Bahkan Huawei sudah memiliki stok chipset untuk 12 bulan untuk menghadapi kondisi semacam ini yang sebelumnya sudah diprediksi.

Lantas, mengapa Huawei juga tidak bisa memasang Android dan aplikasi milik Google di perangkat produksi terbarunya pasca entity list?

Hongmeng OS dan Ark OS: Android versi Huawei

Sistem operasi Android sebagaimana diketahui merupakan milik Google. Anak usaha dari Alphabet tersebut menjalin kerjasama dengan Huawei untuk penyediaan update sistem operasi tersebut dan aplikasi yang menyertainya seperti Play Store dan lain-lain. Google merupakan perusahaan Amerika Serikat, sehingga ketika ada aturan dagang dalam negeri, ya mau tak mau Google mesti patuh.

Baca: Tiga sistem operasi smartphone yang pernah menantang Android

Konsekuensi dari pemutusan kontrak akibat entity list antara Google dan Huawei akan berakibat pada tidak tersedianya pembaruan terhadap sistem operasi Android pada perangkat Huawei. Namun sekali lagi, hal ini hanya berlaku bagi perangkat baru Huawei yang diproduksi setelah entity list berlaku. Jadi buat pemilik smartphone Huawei, atau anda mau membeli Huawei yang sudah ada di pasar sekarang, tentu saja masih mendapat \’perhatian\’ dari Google.

Loh, bukankah Android sendiri merupakan open-source? Android merupakan open-source, namun untuk mendapatkan pembaruan keamanan dan fitur baru, sebuah perusahaan produsen perangkat mesti menjalin kerjasama dengan Google. Jadi ketika putus dari Google, Huawei mesti memikirkan langkah untuk menggantikan Android atau memberikan update secara mandiri tanpa Google di smartphone mereka nantinya.

Kabarnya, sejak 2012, Huawei sudah memiliki rencana untuk membuat software pengganti Android. Saat itu, di sebuah villa di kota Shenzhen, para petinggi Huawei berkumpul untuk membicarakan Android yang saat itu baru mulai bersinar. Pertemuan yang disebut \’lakeside talks\’ dan dipimpin Ren Zhengfei tersebut menghasilkan keputusan bahwa Huawei mesti memiliki sistem operasi lain sebagai cadangan manakala terjadi apa-apa terhadap hubungan Huawei dan umumnya China dengan pemerintah Amerika Serikat.

Tujuh tahun kemudian masalahnya pun ternyata hadir, dan sistem operasi ala Huawei yang siap menggantikan Android juga sudah siap meluncur. Hal ini diketahui saat Huawei mendaftarkan nama Huawei Hongmeng OS di China dan Ark OS di Uni Eropa.

Hongmeng dan Ark merupakan dua entitas yang sama, hanya beda sebutan saja untuk dua wilayah yang berbeda. Keduanya merupakan software buatan Huawei yang berfungsi sebagai sistem operasi yang dipergunakan di smartphone dan perangkat mobile lainnya. Kabar yang beredar, Huawei sudah mengapalkan sejuta perangkat dengan sistem operasi tersebut.

Huawei Hongmeng dan Ark sejatinya merupakan sistem operasi berbasis Android. Loh, kok? Iya, sudah disebut di awal bahwa Android merupakan open-source atau sebutan resminya adalah Android Open Source Project (AOSP). Siapapun bisa membuat sistem operasi dengan basis dasar Android, namun tentu saja tak akan mendapatkan update apapun dari Google. Artinya setelah membuat Hongmeng dan Ark, Huawei mesti membuat sendiri pembaruan untuk perangkatnya secara berkelanjutan.

Cuma ada opini negatif yang menyertai perilisan Hongmeng dan Ark. Pasalnya menurut pengamat perdagangan Amerika, Kevin J. Wolf, sebagaimana dikutip dari ArsTechnica (11/06), Huawei tetap tak bisa memakai AOSP. Sebab entity list selalu berkaitan dengan aturan ekspor yang menyatakan bahwa aturan itu mengikat bukan hanya terkait produksi, tetapi juga rantai pasokan komponen kemanapun, baik perangkat keras maupun lunak. ARM, yang notabene perusahaan Inggris itu, sudah terganjal masalah ini. Dan AOSP meski memiliki sifat open-source tetap memiliki rantai lisensi ke Google.

Kendati begitu, status open-source pada AOSP dianggap telah menghilangkan statusnya sebagai entitas perdagangan. Itulah sebabnya Huawei berani memakai rancangan tersebut untuk Hongmeng dan Ark.

Penutup

Pada akhirnya membeli Huawei (dan Honor) atau tidak hanyalah pilihan. Banyak yang beranggapan kalau Huawei hanya memakai Android murni dengan konsep AOSP seperti Hongmeng dan Ark merupakan sebuah langkah bagus. Sebab smartphone tidak memiliki banyak bloatware yang memenuhi memori.

Namun untuk masalah keamanan seperti menyebarnya virus Trojan yang biasa menjangkiti software asal China cukup mengkhawatirkan atas dirilisnya Hongmeng dan Ark ini. Hal ini pun sudah diwanti-wanti Google. Namun apakah peringatan Google ini hanyalah sebuah sinyal kalau independennya Huawei bakal mengancam bisnis Google? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Shares:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *