Waspada Gangguan Kesehatan Mental Saat Pandemi

Infeksi dari virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19 membuat masyarakat global terkejut. WHO kemudian memutuskan telah terjadi pandemi akibat virus ini. Mereka yang tak siap sangat berisiko terkena gangguan kesehatan mental alih-alih menghadapi pandemi.

Pandemi ini memang disikapi berbeda oleh negara yang satu dengan yang lain. Yang paling sering dipuji atas penanganan COVID-19 adalah Vietnam. Sementara di Indonesia, rasio tes saja hanya tersedia 654 tes untuk satu juta penduduk. Sangat minim.

Apesnya, WHO sendiri kemudian memprediksi bahwa pandemi ini tak akan berakhir. Sebab virus SARS-CoV-2 tidak akan hilang, setidaknya untuk tahun ini. Maka bersiaplah menghadapi ‘new normal‘.

Tabel Konten

Apa Itu The New Normal?

COVID-19 adalah penyakit yang baru. Para ahli virus dan ilmuwan di bidang kesehatan terus meneliti virus SARS-CoV-2 yang menjadi penyebabnya. Karena masih diteliti inilah beberapa cara pencegahan yang terlanjur dikampanyekan kemudian diperbaharui.

Apalagi beberapa klaim penemuan vaksin masih harus melewati uji klinis yang mtmbutuhkan waktu hingga 18 bulan. Itu belum bicara produksi massal dan pendistribusiannya yang bakal memakan waktu lebih lama.

Akhirnya WHO kemudian memberi pedoman soal new normal alias kondisi baru dalam menghadapi pandemi.

Secara istilah menurut Lexico dari Oxford, new normal berarti kondisi baru yang sebelumnya tidak biasa namun kemudian menjadi standar baru, kebiasaan baru, dan perilaku yang diharapkan.

Penerapan new normal di Indonesia sendiri diterjemahkan sebagai relaksasi kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Setelah relaksasi ini, ekonomi mulai kembali digerakkan setelah macet beberapa bulan. Fase relaksasi ini menjadi masa transisi dari PSBB ke new normal yang sesungguhnya.

Orang-orang mulai terbiasa memakai masker ketika keluar rumah. Banyak kegiatan yang mengundang kerumunan orang akhirnya dibatasi bahkan dilarang sepenuhnya. Tempat publik dan transportasi massal dibatasi. Begitulah new normal.

Kebiasaan-kebiasaan yang dahulu pernah dan biasa dilakukan, mau tak mau harus dihentikan. Hal ini mesti dilakukan agar upaya pencegahan bisa berhasil.

Pedoman New Normal

Yang perlu sekali buat diingat adalah sebagaimana pencegahan COVID-19, WHO juga memberikan pedoman agar kondisi baru ini tidak menjadi bumerang bagi suatu negara.

Setiap negara yang bakal menerapkan new normal, kata WHO, mesti memenuhi pedoman yang telah ditentukan. Ada enam pedoman yang dikeluarkan WHO, yakni:

  1. Ada bukti kalau Covid-19 sudah terkendali.
  2. Kapasitas instansi kesehatan dan tenaga medis mencukupi untuk penanganan.
  3. Penularan terhadap kelompok rentan (lansia, ibu hamil, dan pengidap komorbid) bisa diminimalisir.
  4. Tempat kerja patuh terhadap protokol kesehatan secara ketat.
  5. Risiko penularan impor dan lokal bisa dicegah.
  6. Pelibatan komunitas masyarakat dalam kebijakan new normal.

Apakah Indonesia sudah memenuhi seluruh pedoman tersebut? Sayang sekali, meski Presiden sudah mengeluarkan kebijakan new normal ini, di daerah-daerah masih kewalahan.

Angka-angka positif semakin hari semakin bertambah. Hal ini juga diperparah telah terjadi transmisi lokal yang membuat PSBB di beberapa daerah, terutama di daerah saya, tetap diperpanjang.

Apalagi melihat data yang ada saat artikel ini ditulis pada 18 Mei 2020, ada penambahan 496 kasus positif baru sehingga jumlah positif COVID-19 mencapai 18.010 orang. Dan melihat dari grafiknya, belum terlihat adanya flatten the curve yang diharapkan.

Gangguan Kesehatan Mental

Sukar untuk disangkal kalau sektor ekonomi merupakan sektor yang paling terimbas dari pandemi ini. Akibatnya banyak orang kehilangan mata pencaharian dan kehilangan penghasilan yang menjadi tumpuan nafkah keluarganya.

Sektor pendidikan, sosial, dan keagamaan juga terimbas. Meski tidak separah sektor ekonomi, namun secara psikis membuat para pelakunya juga terganggu.

Akumulasi dari sekian banyak hantaman pandemi terhadap seluruh sektor kehidupan bermasyarakat ini membuat kita semua mesti mewaspadai beberapa gangguan terhadap kesehatan mental. Kalau kita merasa waras, maka silakan pantau orang-orang di sekliling kita apakah mereka mengalami hal ini.

Kesehatan mental sangat mungkin dipengaruhi oleh pandemi COVID-19 ini. Sebab gangguan kesehatan mental bisa terjadi ketika sebuah peristiwa dalam kehidupan meninggalkan dampak negatif yang cukup besar.

Buat yang belum mengetahui gejala-gejala gangguan kesehatan mental, silakan mengambil ciri-cirinya berikut ini. Saya mengutipnya dari Halodoc.

  • Berteriak atau berkelahi dengan keluarga dan teman-teman.
  • Delusi, paranoia, atau halusinasi.
  • Kehilangan kemampuan untuk berkonsentrasi.
  • Ketakutan, kekhawatiran, atau perasaan bersalah yang selalu menghantui.
  • Ketidakmampuan untuk mengatasi stres atau masalah sehari-hari.
  • Marah berlebihan dan rentan melakukan kekerasan.
  • Memiliki pengalaman dan kenangan buruk yang tidak dapat dilupakan.
  • Memiliki pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain.
  • Menarik diri dari orang-orang dan kegiatan sehari-hari.
  • Mendengar suara atau mempercayai sesuatu yang tidak benar.
  • Mengalami nyeri yang tidak dapat dijelaskan.
  • Mengalami perubahan suasana hati drastis yang menyebabkan masalah dalam hubungan dengan orang lain.
  • Merasa bingung, pelupa, marah, tersinggung, cemas, kesal, khawatir, dan takut yang tidak biasa.
  • Merasa sedih, tidak berarti, tidak berdaya, putus asa, atau tanpa harapan.
  • Merokok, minum alkohol lebih dari biasanya, atau bahkan menggunakan narkoba.
  • Perubahan drastis dalam kebiasaan makan, seperti makan terlalu banyak atau terlalu sedikit.
  • Perubahan gairah seksual.
  • Rasa lelah yang signifikan, energi menurun, atau mengalami masalah tidur.
  • Tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti merawat anak atau pergi ke sekolah atau tempat kerja.
  • Tidak mampu memahami situasi dan orang-orang.

Ciri-ciri diatas tidak seluruhnya terjadi pada satu orang. Orang dengan gejala gangguan kesehatan mental bisa hanya memiliki tiga atau empat ciri saja dari daftar diatas. Yang diperlukan adalah sensitivitas orang terdekat dan komunitas dimana penyintas ini mengalaminya.

Kesehatan mental yang rentan terganggu biasanya juga terjadi pada orang-orang dengan masa lalu yang buruk, kelainan otak dan mental, profesi dengan tingkat stres yang tinggi, dan penyalahgunaan obat.

Untuk itu penting kiranya melakukan konsultasi dengan dokter untuk mengatasi gangguan terhadap kesehatan mental ini. Namun saat pandemi ini, sebelum bertatap muka dengan dokter secara fisik, bisa loh melalui aplikasi Halodoc.

Halodoc merupakan aplikasi kesehatan yang dibuat oleh Jonathan Sudharta. Pada Maret 2019 lalu, platform yang bisa diunduh di iOS dan Android ini mendapatkan suntikan dana $65 juta. Sehingga mampu menciptakan layanan konsultasi dokter secara daring yang baik.

Platform ini juga menyediakan layanan konsultasi bagi para penderita gangguan kesehatan mental seperti diatas. Jadi kalau ada diantara kita yang mengalami ciri-ciri diatas, bisa dikonsultasikan terlebih dahulu dengan dokter di Halodoc.

Penutup

Oleh karena itu kita semua mesti mewaspadai selain COVID-19, gangguan terhadap kesehatan mental juga perlu diperhatikan. Sebab hal ini juga bisa membahayakan, tidak hanya bagi penderita, tapi bagi lingkungan sosial dimana yang bersangkutan tinggal.

bangdoel

Bang Doel adalah seorang blogger yang menulis tentang berbagai topik di dunia digital, media sosial, gadget, teknologi, politik, sosial, dan humaniora. Doel.web.id menjadi sarana untuk menyalurkan hobi menulis dan melakukan analisis.

Post navigation

Leave a Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Memutus Stunting Via Daring, Urgensi Internet Cepat Sampai Pos Kamling

4 Tips Belanja Online yang Perlu Diketahui agar Lebih Hemat

Age advantages end sufficient eat expression

Cara Mengatasi Pusing Hebat alias Vertigo dengan Mudah