Inikah Senjakala Televisi Kita?

Judul artikel ini memang mirip dengan tulisan Bre Redana di Kompas edisi 28 Desember 2015. Tulisan yang berjudul \’Inikah Senjakala Kami…\’ tersebut memang mengupas teknologi yang hadir menggusur media konvensional yang selama ini dipakai media cetak. Dan lebih penting lagi, kupasannya lebih pada soal etika jurnalistik yang semakin terkikis dengan kehadiran teknologi tersebut.

Siaran TV Dengan Konten Digital

Siaran TV Dengan Konten Digital

Tulisan Bre itu cukup menuai kontroversi. Tak kurang banyak yang menyanggahnya, termasuk almarhum Mojok.co pun pernah menulis balasannya. Hanya saja banyak pula yang sepakat bahwa media cetak memang sedang bertemu dengan senjakala. Tapi sebabnya bukan karena wartawannya yang instan dalam emncari berita, tapi karena fasilitas baru telah merenggut kedigdayaan media cetak, yakni internet.

Dengan separuh populasi penduduk yang sudah melek internet, Indonesia memang menjadi pasar potensial bagi konten digital. Data dari Kompas yang menyebut ada 132 juta jiwa pengguna internet tersebut bahkan tercatat masih di tahun 2016. Sementara tren setiap tahun akan selalu mengalami lonjakan yang cukup banyak.

Meski punya ceruk pelanggan sendiri, media cetak pantas untuk ketar-ketir. Tirto.id mencatat ada penurunan oplah yang signifikan setiap tahunnya, misalnya menurut data SPS yang mengatakan oplah media cetak melorot hingga 8,9% pada 2015. Dan hal ini pun mengikuti tren penurunan pemasang iklan di media cetak yang terus menurun jumlahnya sejak 2011. Sederhananya, silakan kunjungi agen koran di kota anda masing-masing. Mereka pasti mengalami kepahitan yang sama dengan media cetak.

Sebenarnya tidak apple to apple jika membandingkan antara senjakala media cetak dengan televisi yang masih kokoh berdiri. Sebab belanja iklan di televisi masih terus tumbuh. Setidaknya, menurut data dari Kontan, masih ada Rp. 97 triliun nilai iklan yang digelontorkan kepada televisi pada tahun 2016. Nilai tersebut naik 14% dibanding tahun sebelumnya. Dan angka itu cukup meyakinkan bahwa pemirsa televisi masih cukup banyak.

Oh, iya televisi yang dimaksud adalah media siar yang ditayangkan oleh sebuah lembaga penyiaran sesuai aturan yang berlaku, dan diterima siarannya melalui pesawat televisi. Kebakuan ini kemudian tidak menghilangkan substansi ketika alat untuk menyiarkannya berpindah dari layanan kabel maupun antena menjadi layanan internet. Sebab sebuah media televisi bisa mengadaptasi dirinya sendiri menjadi layanan digital seperti membuat aplikasi digital untuk nonton online.

Tren yang mengemuka kemudian, adanya para pesaing yang senantiasa muncul dengan format-format yang menarik. Sejak tahun 2016, menurut Mix.co.id ada 3 juta orang yang sudah meninggalkan televisi terestrial dan beralih ke televisi berbayar. Meski begitu trennya pun kurang begitu bagus, terlebih banyak teknisi parabola yang menyediakan layanan televisi berbayar hanya dengan bayar satu paket pemasangan alat, atau yang terbaru menggunakan layanan tv box secara online.

Acara televisi memang masih diminati, terlebih sejenis sinetron dan live music. Itulah mengapa TV One rela menggadaikan formatnya sebagai televisi berita dan menjadi penayang telenovela. Bisnis hiburan mungkin lebih menjanjikan. Namun sepertinya ada banyak orang yang tidak sepakat dengan keputusan TV One

Faktor Pendukung

Internet yang semakin agresif menyasar penduduk negeri ini, menjadikan hiburan sudah berada di genggaman. Alih-alih menantikan jadwal tayang sebuah serial di televisi, banyak orang lebih memilih layanan streaming maupun layanan unduh di internet untuk menyaksikan tayangan yang mereka gemari. Bahkan mereka pun rela membayar untuk mendapatkan tayangan hiburan berkualitas dibanding sinetron kejar tayang yang setiap hari wara-wiri di layar televisi.

Oleh karenanya tidak begitu mengejutkan ketika Netflix menjadi aplikasi non-game yang paling banyak meraup untung pada kuartal 1 tahun 2017 (TheNextWeb.com). Mereka mendapatkan $133 juta pada awal tahun 2017, dan menandakan kenaikan sebesar 286% dari tahun kemarin yang hanya $34,6 juta.

Lalu YouTube pun tergiur di bisnis ini dengan meluncurkan YouTube TV pada 5 April 2017 kemarin. Meski beda format dengan Netflix, namun YouTube melihat semakin banyak orang yang menyaksikan televisi di gadget mereka. Dan begitulah kemudian bisnis bekerja ketika melihat potensi pasar yang melimpah. Meski berbayar $35/bulan dan belum masuk ke Indonesia, YouTube TV punya kans yang bagus untuk menggeser pemirsa televisi konvensional.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi layanan semacam ini akan diminati oleh pemirsa Indonesia. Pertama adalah jaringan internet yang semakin baik dari waktu ke waktu. Meski diklaim belum siap betul dengan layanan 4G, pada kenyataannya migrasi layanan dari 3G ke 4G terus dipaksakan oleh provider dan produsen gadget. Faktor kedua, bonus demografi yang dimiliki Inodonesia di tahun-tahun mendatang. Bonus demografi ini merupakan jumlah penduduk di usia produktif yang mendominasi populasi. Dan di sisi yang lain, usia produktif dihuni oleh generasi milenial yang sangat erat dengan gadget dan internet.

Tapi apakah hal-hal tersebut akan membuat televisi menemui senjakalanya? Tergantung beberapa hal juga, dan kebanyakan berasal dari internal televisi itu sendiri. Hal yang dimaksud adalah kemampuan televisi dalam beradaptasi dengan internet, dan kedua layanan yang berkualitas baik hiburan maupun suguhan jurnalistik. Jika kualitasnya terjaga, maka senajakala itu akan menjauh dengan sendirinya.

Leave a Comment