Komisi Penyiaran Indonesia atau disingkat KPI mengemukakan niatnya untuk mengawasi YouTube dan Netflix. Alasan lembaga pengawas penyiaran ini ingin melakukannya karena media konvensional mulai ditinggalkan penontonnya, sebab berpindah ke media baru.

Ya, media baru yang dimaksud adalah YouTube dan Netflix. Pengertian media baru sendiri merupakan sebuah jenis komunikasi elektronik yang tercipta setelah ditemukannya teknologi komputer dan internet.

YouTube dan Netflix hanyalah dua contoh dari media baru yang berbentuk video. Platform video ini juga masih banyak sekali macamnya. Sehingga yang perlu diingat adalah contoh dari media baru adalah platform video online. Contoh lain media baru adalah blog, aplikasi chatting, media daring, e-mail, podcast, dan e-book.

Lantas dimana posisi media sosial? Nah media sosial memiliki pengelompokkan lain. Ia memang lahir setelah adanya komputer dan internet, tapi lebih tepat disebut sebagai media sosial sendiri. Contohnya adalah Facebook, YouTube (juga), Twitter, Instagram, Snapchat, dan LinkedIN.

Soal kenapa media sosial dan media baru dikelompokkan terpisah, penjelasannya bakal panjang. Namun kalau anda paham vis-a-vis dari media konvensional adalah media baru, maka anda seharusnya paham mengapa media sosial dipisahkan.

Media konvensional tentu tahu semua dong, isinya apa saja? Mulai dari televisi, koran, majalah, dan radio adalah bentuk-bentuk media konvensional. Oh iya surat-menyurat juga merupakan media konvensional atau media lama.

Karena kita hidup didalam negara, maka setiap hal mesti ada aturannya, termasuk soal media. Untuk media siar yang memakai frekuensi publik, negara mengatur agar kontennya disesuaikan dengan falsafah dan nilai-nilai bangsa. Sehingga untuk menjaganya lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. UU ini melahirkan KPI.

Untuk melaksanakan tugasnya KPI dijalankan oleh sembilan komisioner atau tujuh komisioner untuk KPID di tingkat provinsi. Mereka dibantu para staf untuk memantau siaran 24 jam. Kalau ada acara yang melanggar UU Penyiaran, maka KPI bakal melayangkan teguran, skorsing, hingga pelarangan siaran bahkan pencabutan hak siar. Itu tugas KPI.

Yang menjadi permasalahan, UU Penyiaran memang produk hukum yang lama. Sejak disahkan pada 2002, UU Penyiaran dirasa cukup tertinggal. Apalagi setelah media konvensional cukup banyak ditinggalkan oleh konsumennya sebab migrasi menjadi konsumen media baru.

Itulah mengapa KPI bermaksud mengajukan revisi UU tersebut agar relevan dengan zaman. Agar KPI tidak hanya mengawasi televisi nasional saja, akan tetapi \’produsen konten\’ dari luar negeri juga bisa ikut diawasi.

Kalau menilik makna \’penyiaran\’ dalam UU Penyiaran, maka media baru memang tidak termasuk kedalam cakupan definisi penyiaran. Pengertiannya saya kutipkan sebagai berikut:

Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.

Lebih spesifik lagi, media baru juga tidak termasuk kedalam jasa penyiaran seperti yang disebut dalam UU Penyiaran Pasal 12. Disitu hanya tercantum radio dan televisi saja.

Tapi YouTube itu…

Buat yang belum tahu, YouTube bukan hanya sebuah platform video online, tetapi mereka juga sudah membuat televisi sendiri. Platform ini menyusul Netflix yang sudah sukses sebelumnya. Kedua platform ini merupakan televisi berlangganan.

Media transmisi yang berbeda dari definisi penyiaran yang dimaksud menyebabkan KPI belum bisa memiliki kewenangan memantau kedua \’televisi\’ ini, dan televisi lain yang sejenis. Keduanya memakai fasilitas streaming yang dimungkinkan dengan teknologi internet.

Saat ini YouTube sudah memiliki kantor di Jakarta melalui Google Indonesia. Tinggal Netflix yang masih ada di Singapura. Akan tetapi, ada atau tidak adanya kantor di Indonesia, KPI tentu bisa mengirimkan e-mail kepada televisi-televisi internet itu apabila ada masalah.

Akan tetapi, keinginan KPI ini seperti disampaikan secara gegabah. Atau memang niatnya sudah cukup gegabah sebab saya tidak menemukan kata \’televisi\’ yang menyertai setelah kata \’YouTube\’. Karena YouTube sendiri merupakan platform yang berbeda.

YouTube secara default bukanlah televisi. Ia seperti media sosial yang berbentuk video. Ini sama dengan IGTV dan Facebook Watch. Maka kalau KPI masuk ke ranah ini, ya wajar saja dihujat banyak orang. YouTube TV pun belum masuk ke Indonesia.

Media sosial sudah diatur dengan cukup ngaret baik melalui UU ITE. Sehingga konten-konten yang negatif bisa langsung \’dihajar\’ tanpa melalui prosedur yang berbelit-belit seperti KPI \’menyemprit\’ televisi.

YouTube juga cukup responsif dalam menyikapi konten-konten negatif. Bahkan kalau diseksamai, responsivitas YouTube dalam melibas konten negatif jauh lebih cepat daripada KPI menyemprit konten yang tidak mendidik.

Kesimpulannya Apa?

Media konvensional memang kearah sekarat. Koran dan majalah semakin sedikit. Saat inipun siapa yang masih mendengarkan radio? Menyusul pula televisi yang kian hari kian ditinggalkan penontonnya, karena bergeser ke YouTube.

Media baru telah menggusur banyak nama besar dari jenama media konvensional. Sebagai warga negara, saya sepakat kalau media baru ini juga ikut diawasi. Akan tetapi, selain membawa liberalisme, mereka juga membawa disiplin yang baik.

Artinya ketika mereka bilang sebuah tayangan tertulis PA alias Parental Advisory, maka orangtua tak boleh membiarkan anaknya melihat tayangan itu sendirian. Begitu juga ketika kategori lain yang ditetapkan pada sebuah tayangan. Di negara asalnya, masyarakat memang patuh pada kategori tersebut.

Di kita bagaimana? Mohon maaf nih, pernah menonton film untuk remaja di bioskop dan melihat banyak orangtua yang membawa anaknya yang belum remaja? Ya itu di ruang publik. Anda bisa membayangkan bagaimana kalau tayangan tersebut masuk ke ruang privat di keluarga mereka?

Media baru memang membutuhkan orang-orang dengan sikap yang baru dalam menyikapi konten-kontennya. Ia membutuhkan self-censorship alih-alih peran negara secara langsung. Sebab liberasi konten telah membanjir di semua kanal.

Pemerintah bisa memblokir konten yang tidak sehat. Akan tetapi keberadaan VPN yang masif bisa dimanfaatkan untuk \’menjebol\’ pemblokiran tersebut.

Netflix yang sudah masuk ke Indonesia sejak 2016 merupakan platform video-on-demand, artinya masyarakat membayar apa yang ingin ditontonnya. Ia tidak \’mengudara\’ secara gratis. YouTube TV juga sama.

Ketika seseorang membayar biaya untuk berlangganan konten di kedua platform tersebut, maka secara tidak langsung mereka memahami apa yang bakal ditonton. Seyogyanya mereka juga sudah melakukan self-censorship yang dimaksud.

Kalaupun kemudian KPI ingin melakukan pemantauan, ya silakan saja. Akan tetapi apabila ditemukan ada konten yang melanggar, bukankah itu sudah menjadi tugas dari Kominfo? Saat ini Kominfo pun baik-baik saja dengan tayangan di Netflix.

Sekali lagi, media baru membutuhkan penyikapan yang baru. Ia tak bisa diseret ke metode konvensional yang mungkin bisa diterapkan untuk media lama. Makanya KPI, sebagai lembaga lama, meski bertransformasi kedalam wujud yang benar-benar baru.

Shares:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *