Revolusi Industri 4.0 yang sedang trending beberapa tahun belakangan, memunculkan satu frase yang cukup krusial, yakni tentang big data. Karena ada mekanisme yang cukup sistematis dalam mengumpulkan data banyak orang dalam satu tempat.

Data itu kemudian diolah sedemikian rupa guna kepentingan tertentu. Jika pemegangnya merupakan pedagang, maka data tersebut dipergunakannya untuk meraup keuntungan sebanyak mungkin. Kalau pemegang data itu politisi, tentu guna memenangkan pemilu.

Soal Shopee dan Predatory Pricing

Saat artikel ini ditulis, media sedang membahas predatory pricing. Istilah ini merujuk pada sebuah kondisi dimana ada perang harga yang terjadi pada sebuah pasar. Sebutan predator disematkan karena ada pihak yang dimangsa akibat kondisi ini.

Predatory pricing bermula dari sebuah barang A, yang sedang populer di sebuah platform marketplace. Beberapa saat kemudian, mendadak banyak penjual barang A yang menjual dengan harga yang jauh lebih murah. Sepintas kamu mungkin menyebutnya mekanisme pasar. Tapi ternyata tidak seperti itu kejadiannya.

Saya menemukan sebuah insight menarik dari sebuah status Facebook. Penulisnya menyebut kalau ia merupakan penjual bros dada di Shopee. Tapi sebelumnya, saya mohon maaf tidak menyimpan sumber link-nya.

Pada intinya ia curhat. Ia menceritakan popularitas bros dada di Shopee yang membuatnya sebagai UMKM mendapatkan berkah. Namun popularitas itu hanya sementara. Sebab secara tiba-tiba banyak penjual dadakan yang membanjiri Shopee.

Kalau produk miliknya kalah dari sesama UMKM tanah air, sepertinya itu hal yang wajar. Tetapi bros dada miliknya itu kalah dari produk China. Negara dimana tidak ada pemakai bros dada. Sebab diketahui bros ini hanya dipakai oleh para perempuan berjilbab.

Artinya, ia berkesimpulan, bros dada ini memang sengaja dibuat untuk pasar Indonesia setelah melihat data popularitas dari Shopee. Apakah orang luar mendapatkan insight data internal Shopee? Oh, tentu tidak. Sepertinya ada ‘orang dalam’ yang mengirimnya ke negeri tirai bambu tersebut.

Oh iya, orang ini juga menulis curhatnya karena memang didahului oleh ajakan Presiden Joko Widodo untuk membenci e-commerce asing yang membunuh UMKM. Kalau Shopee kemudian disebut, bisa jadi cuma kebetulan saja.

Dari sini, kita bisa mengambil kesimpulan kalau Shopee, atau entah siapapun itu, mampu memanfaatkan data untuk kepentingan ekonomi mereka. Ia mampu mengumpulkan data yang berceceran untuk diatur sedemikian rupa hingga mendapatkan data yang dikehendaki, yakni berupa barang yang paling banyak dicari orang di sebuah marketplace.

Nah, isu soal data, pengumpulan data, pengaturan data, dan pemanfaatan data itulah yang kita sebut sebagai big data.

Big Data

Big Data merupakan istilah untuk menyebut sebegitu banyaknya volume data, baik yang terstruktur maupun tidak terstruktur, yang dikumpulkan oleh entitas tertentu dengan berbagai mekanisme dan diolah sedemikian rupa untuk kepentingan organisasinya.

Big data merupakan salah satu bagian dari revolusi industri 4.0. Ia menyusun revolusi industri keempat ini bersama dengan Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), Cloud Computing, serta Additive Manufacturing.

Senada dengan sebutannya, big data hanya berbicara pada data dengan kapasitas yang besar. Meski tidak jelas tolak ukurnya, namun sebutan big data biasanya hanya berupa data dengan kapasitas terabytes (TB), petabytes (PB), hingga exabytes (EB).

Dengan banyaknya data yang diolah, big data memerlukan sumber daya yang otomatis untuk melakukan pengumpulan, analisa, hingga pembuatan model. Maka sejalan dengan hal ini biasanya para pemroses big data memerlukan machine learning tersendiri.

Oke, tampaknya bahasan big data ini mulai rumit. Baiklah saya sederhanakan.

Pada intinya big data adalah sebuah istilah guna menyebut sebuah tindakan pengumpulan data, pemrosesan, dan pemanfaatannya. Sesederhana itu.

Saya misalkan kejadian Shopee diatas dengan bros dada. Saya hanya mengambil contohnya saja. Soal salah atau tidak, etis ataupun enggak, silakan kamu nilai sendiri.

Contoh Pemanfaatan Big Data

Menurut iPrice, ada 129.320.800 kunjungan setiap bulan pada Shopee. Dari jumlah tersebut tentu mereka memiliki analisisnya yang mencakup demografi, geografi, barang yang dijual dan dibeli beserta popularitasnya, dan lain-lain.

Jika kemudian diperlukan sebuah data, misalnya jumlah perempuan yang membeli gamis pada bulan desember. Maka Shopee tentu bisa menjawabnya dengan data yang presisi. Jika ditanyakan lagi barang apa yang sedang populer. Maka Shopee juga bisa menjawabnya.

Tentu merupakan sebuah hal yang mudah ketika ada sebuah produsen palugada (apa lu mau gua ada) di luar negeri membutuhkan data barang yang paling laris di Shopee. Maka dengan kemudahan perdagangan di negerinya, dalam sekejap barang yang serupa dengan harga yang jauh lebih murah kemudian membanjiri pasar di marketplace tersebut.

Dalam kasus yang lain yang lebih rumit, ketika kamu menjadi seorang politisi, maka memanfaatkan big data juga memberi banyak keuntungan. Misalnya kamu bisa mengetahui preferensi terhadap calon pemilihmu.

Misalnya lewat data yang diperoleh dari media sosial, diketahui calon pemilih di daerah pemilihan kamu tidak menyukai udang serta warna merah. Maka kampanye dengan mengajak mengonsumsi udang sembari memakai kaos berwarna merah adalah sebuah ide yang sangat buruk.

Darimanakah data itu diperoleh? Ini menjadi bahasan yang menarik.

Pemerolehan Data

Banyak jalan untuk mendapatkan data. Buat yang masih ingat dengan skandal Cambridge Analytica, tentu paham darimana para politikus di Amerika Serikat memanfaatkan teknologi big data ini.

Buat yang belum tahu. Ceritanya ada salah satu kandidat politik yang menyewa lembaga konsultan Cambridge Analytica ini untuk memenangkan kontestasi. Salah satu strateginya adalah mendapatkan data warga Amerika untuk dianalisis.

Lalu konsultan ini membuat sebuah aplikasi tanya jawab kepribadian di Facebook. Ya, tentu saja aplikasi ini hanya kedok belaka. Mereka merilisnya ke Facebook untuk mendapatkan data pengguna media sosial ini.

Salahnya Facebook adalah membiarkan adanya aliran data kepada pihak ketiga. Sehingga Mark Zuckerberg menjadi pesakitan yang disidang oleh Senat Amerika.

Hal yang mirip juga terjadi pada kasus predatory pricing itu. Ada data analisis penjualan yang mengalir dari dalam negeri menuju pihak ketiga diluar negeri, yang pada akhirnya ‘membunuh’ UMKM secara brutal.

Darimana pihak ketiga ini mendapatkan data pasar di Indonesia untuk kemudian masuk membawa barang dengan harga yang lebih murah? Ya kalau enggak dari marketplace tersebut, lalu adakah pihak lain?

Penutup

Tulisan sederhana ini memang bukanlah artikel akademik soal big data. Mohon maaf, saya bukan insinyur big data yang mampu menjelaskan secara detail dan berbasis keilmuan. Namun yang ingin saya tekankan adalah big data ini harus menjadi perhatian kita.

Paling tidak, sebagai pengguna internet kita mesti waspada terhadap upaya data mining yang dilakukan oleh pihak tertentu. Sebab siapa tahu, dari keteledoran kita yang dilakukan secara masif, justru menjadi saham yang akan menjungkalkan kita secara ekonomi di masa yang akan datang.

Shares:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *