Perubahan iklim kian hari kian mengkhawatirkan. Kalaupun bumi pada hari ini baik-baik saja, namun beberapa tahun ke depan suhunya bakal meningkat signifikan. Nature Communication menyebutkan, empat tahun ke depan bakal banyak badai tropis sebab suhu tinggi yang tak wajar.
Suhu tinggi ini kerap disebut bagian dari isu pemanasan global. Isu ini kerap menjadi perbincangan serius di berbagai forum internasional sejak dua dasawarsa ke belakang. Namun sudahkah perbincangan serius tadi menghasilkan perubahan terhadap pola hidup yang ramah terhadap iklim: mengelola sampah dan mendaur ulangnya, melakukan penghijauan, membuat lubang resapan (biopori), menyaring air, dan mengurangi penggunaan plastik?
Rasa-rasanya pola hidup yang ramah iklim tersebut belum menjadi tren di tengah masyarakat. Seperti contohnya yang terjadi di kota Cirebon. Kota yang terkenal dengan julukan \’kota udang\’ ini masih belum banyak memiliki ruang terbuka hijau. Dari target 20 %, sebagaimana dikutip dari Pojok Jabar, Cirebon baru memiliki 11 % saja. Hal yang cukup berbanding terbalik dengan perkembangan kota ini menjadi kota metropolis di ujung utara Jawa Barat, dimana gedung-gedung baru berdiri dan kendaraan yang berada di jalan raya semakin banyak. Baca juga 3 contoh Bisnis sosial di Indonesia Yang Menginspirasi
Akibat dari berkurangnya ruang terbuka hijau tadi, Cirebon semakin panas. Setiap tahunnya, Cirebon mengalami peningkatan suhu sebanyak 1 derajat. Hal yang berbanding terbalik ketika dibandingkan dengan Surabaya yang berhasil menurunkan suhu sebesar 2 derajat. Jika Cirebon dibandingkan dengan Surabaya, memang tak cuma ruang terbuka hijau saja yang kalah, namun sebaran pohon di jalan-jalan kota juga telah berkurang.
Cirebon pun berbenah. Anggaran terus digelontorkan untuk membuat ruang terbuka hijau di lahan milik Pemerintah Kota. Hingga akhir 2018, target agar Cirebon memiliki ruang terbuka hijau sebesar 20 % bisa terlaksana.
Dari informasi beberapa media lokal Cirebon, tak hanya ruang terbuka hijau yang terus digalakkan, namun zona ramah iklim di kota ini bakal terus dibuat dan diperbanyak. Zona ramah iklim ini pun bukan sekedar teori dari ruang kosong, sebab sebuah wilayah berbasis Rukun Warga (RW) di Cirebon sudah mampu melaksanakannya sejak lama. Wilayah tersebut kerap disebut Kampung Merbabu Asih yang terletak di RW 08 Kelurahan Larangan, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
Saya berkesempatan mengunjungi Kampung Merbabu Asih pada Kamis (8/11/2018) siang. Namanya memang kampung, namun yang dimaksud bukanlah kampung sebagaimana dikenal pada umumnya. Sebab wilayah ini terletak di kompleks Perum Kota Cirebon yang notabene termasuk wilayah perkotaan. Sebutan Kampung Merbabu Asih diambil dari nama salah satu jalan yang ada di kompleks perumahan tersebut, Jalan Gunung Merbabu Asih. Baca juga Mengenal Sistem Bisnis Kangen Water
Bermula dari keresahan
Saat berada di Kampung Merbabu Asih, sekilas tampak tidak ada yang istimewa dari kompleks ini dibandingkan dengan kompleks perkotaan yang lain. Jalanan utama dan jalan kecil yang rapi, drum sampah di samping kiri dan kanan jalan, serta aneka ragam pot tanaman hias sudah menjadi pemandangan biasa di hampir seluruh kompleks perumahan yang sudah lama didiami.
Ada perasaan ragu pada mulanya, apakah benar ini yang disebut Kampung Merbabu Asih? Sebuah kawasan yang cukup terkenal dengan konsep tata kelola lingkungannya yang ciamik, ramah lingkungan, dan peduli terhadap perubahan iklim.
Akhirnya seseorang mengarahkan ke rumah Pak Chaidir. Beliau merupakan Ketua RT 03 dan merupakan salah satu penggagas dari sebuah komunitas yang menjadi tulang punggung keberadaan Kampung Merbabu Asih.
Sayang sekali pada waktu itu Pak Chaidir tidak berada di rumah. Untunglah ada Ibu Dedeh, istri dari Pak Chaidir yang bersedia menerima beberapa pertanyaan yang saya ajukan.
Saya (berbaju orange) bersama beberapa pegiat komunitas ketika bertamu di rumah Ibu Dedeh. (Foto: M. Toha) |
\”Bank sampah hanya sarana, mas. Pada mulanya kami di sini cukup resah dengan banyaknya sampah yang ada di lingkungan kami, di sungai, dan di jalan-jalan. Apalagi banyak berita tentang bencana yang ditimbulkan oleh tumpukan sampah,\” cerita Ibu Dedeh.
Keresahan satu-dua warga ini akhirnya difasilitasi oleh fasilitator kelurahan pada waktu itu, Iwan Ridwan. Pada 2009, fasilitator mengajak agar warga RW 08 bertemu membicarakan masalah yang menjadi sumber keresahan tersebut.
Temu warga tersebut memutuskan agar beberapa warga belajar untuk mengelola sampah rumah tangga. Pucuk dicinta ulam pun tiba, respon pemerintah daerah terhadap keinginan warganya untuk bergerak mengelola sampah sangat baik. Sebab tak lama setelah itu, perwakilan warga RW 08 mendapatkan undangan untuk mengikuti Pelatihan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Hotel Tryas Cirebon.
Ternyata pelatihan tersebut bukanlah akhir, sebab seminggu setelahnya datang tawaran untuk \’studi banding\’ ke Yogyakarta, tepatnya di Sukunan dan Gondolayu untuk melihat keberhasilan swakelola sampah di sana.
Pasca temu warga, pelatihan, dan kunjungan ke Yogyakarta, warga RW 08 akhirnya bersepakat untuk membentuk komunitas agar kerja-kerja yang akan dilakukan lebih terkonsep dan terstruktur. Maka beberapa bulan kemudian, tepatnya Agustus 2009, Komunitas Secerah Pagi akhirnya dibentuk.
Menurut Ibu Dedeh, nama \’secerah pagi\’ merupakan harapan. Sebab nama tersebut merupakan akronim dari \’semoga cepat rapih pekarangan asri gemerlap indah\’.
Komunitas ini pun langsung menyusun konsep dan strukturnya. Ada empat kelompok kerja di Secerah Pagi, yakni unit komposting, kerajinan limbah, rekayasa, daur ulang, dan pelatihan. Kelompok kerja ini bertujuan untuk mengelola sampah rumah tangga dengan konsep 4R yakni reduce, reuse, recycling, dan replace.
\”Setelah pengetahuan didapatkan dan konsep sudah dimatangkan, bank sampah pun terbentuk. Pada mulanya hanya sedikit saja terbersit ada keuntungan dari aktivitas ini. Namun pada tahun 2018 ini, Bank Sampah Secerah Pagi sudah membukukan saldo keuntungan hingga Rp135 juta,\” lanjut Ibu Dedeh.
Kerjasama dengan swasta
Pada mulanya, bank sampah berikut komunitas ini menuai keraguan bahkan cibiran. Sebabnya tentu saja soal citra orang perkotaan yang bersih dan tak akan mau bercampur baur dengan sampah. Namun semua keraguan itu dipatahkan.
Bank Sampah Secerah Pagi. (Foto: komunitas Secerah Pagi) |
Tim bank sampah keliling Secerah Pagi. (Foto: Komunitas Secerah Pagi) |
Tim bank sampah keliling Secerah Pagi saat menimbang limbah rumah tangga. (Foto: Komunitas Secerah Pagi) |
Ada Mas Bayu Krisna yang langsung menjemput sampah dari rumah ke rumah. Bersama dengan Pak Abu Ridwan, Mas Gun, Om Dani, Mas Anil, Pak Jamal, Om Heri, Om Agam, Wa Gimin, bank sampah ini bergerak dengan gerobak kecil dalam memulai aktivitasnya. Gerobak kecil itu kini telah bermetamorfosis menjadi motor roda tiga hasil bantuan pemerintah.
Motor inventaris yang sedang dikandangkan. (Foto: dokumen pribadi) |
Sejak pertama kali bank sampah ini berproses, proposal bantuan diedarkan ke berbagai pihak. Salah satu yang menyambutnya adalah Asuransi Astra Buana (Garda Oto) yang beralamat di Jalan R.A. Kartini No. 63A, Kebonbaru, Kejaksan, Cirebon. Perusahaan ini siap mengirimkan limbah plastik dan kertasnya ke Bank Sampah Secerah Pagi.
Pak Chaidir saat membawa limbah plastik dan kertas dari kantor Garda Oto. (Foto: Komunitas Secerah Pagi) |
Pak Haji Agus mewakili Komunitas Secerah Pagi untuk menerima secara simbolis bantuan ratusan bibit pohon dari Garda Oto. (Foto: Komunitas Secerah Pagi). |
Sambutan baik Garda Oto sejak 2014 tersebut tentu bercermin kepada induk semangnya, yakni PT Astra Internasional Tbk. Sebagaimana diketahui, Astra telah memiliki konsep tanggung jawab sosial perusahaan dengan membuat program Satu Indonesia.
Program ini telah terkonsep sesuai dengan salah satu Catur Dharma Astra, yakni \”Menjadi Milik yang Bermanfaat Bagi Bangsa dan Negara. Salah satu konsepnya adalah dukungan terhadap lingkungan dengan bentuk program Astra Hijau dan Kampung Berseri Astra.
Sejak kerjasama itulah, Kampung Merbabu Asih menjadi salah satu dari 77 kampung binaan Astra. Dan pembinaan itupun tak sia-sia, sebab Kampung Merbabu Asih mendapatkan penghargaan sebagai Kampung Berseri Astra Terbaik Pertama saat perayaan HUT 60 Astra di Makassar. Kampung Merbabu Asih menyisihkan lima nominator lainnya dalam penghargaan tersebut.
Penghargaan dari pemerintah
Kampung Merbabu Asih pun mendapatkan penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia pada 24 Oktober 2018 atas nilai tertinggi yang diraih se-Indonesia dalam Program Kampung Iklim (Proklim) Lestari.
Pak Haji Agus berpose setelah menerima trofi juara Proklim Lestari dari KLHK pada 24 Oktober 2018 di Jakarta. (Foto: Komunitas Secerah Pagi). |
Proklim Lestari merupakan program nasional dari KLHK. Untuk terdaftar saja sebagai peserta program, sebuah daerah mesti memenuhi kriteria dalam menyikapi perubahan iklim, mulai dari adaptasi, mitigasi dan dukungan keberlanjutan. Kampung Merbabu Asih telah memiliki kriteria itu dengan baik, dan selama proses lomba Komunitas Secerah Pagi telah menambahkan jumlah lubang resapan biopori, kolam retensi, penampungan air hujan, penghijauan, sistem peringatan dini terhadap bencana, dan greenhouse.
Untuk itulah Kampung Merbabu Asih akan ditingkatkan statusnya sebagai Kampung Berketahanan (Resilient Village) oleh KLHK.
Menuju kampung wisata ramah iklim
\”Kalau konsep ke depan, silakan ngobrol dengan Pak Haji Agus, beliau yang banyak tahu dan bisa menjelaskannya,\” ungkap Ibu Dedeh saat saya bertanya apa yang bakal dilakukan Komunitas Secerah Pagi.
Pak Haji Agus yang dimaksud adalah sang Ketua RW 08, Agus Supriono. Menurut informasi yang saya dapatkan dari beberapa pegiat sosial di Cirebon, beliau ini memang dikenal mahir kalau berbicara bank sampah dan pengelolaan limbah rumah tangga. Ia kerap diundang untuk mengisi berbagai pelatihan di komunitas-komunitas sosial terkait dua hal tersebut.
Sayangnya, saat saya ke rumahnya, beliau sedang pergi bersama keluarganya. Di sela-sela waktu demi menunggu, barangkali Pak Agus pulang lebih cepat, saya mengelilingi sejenak Kampung Merbabu Asih.
Hal yang saya dapat ternyata berbeda dibanding penglihatan sekilas saat baru saja datang. Sebab ketika dilihat dari dekat, tong sampah yang ada di tepi jalan itu ternyata merupakan komposter. Sekadar pengetahuan, komposter merupakan alat untuk mengurai sampah organik. Hasil dari penguraian biasanya dipergunakan untuk pembuatan pupuk organik.
Komposter ini banyak yang penuh, namun anehnya tempat sampah yang disediakan banyak yang kosong. Ini disebabkan kinerja tim bank sampah berjalan maksimal, sehingga tidak membiarkan sampah menumpuk.
Di beberapa jalan juga ada kanopi alam yang terbuat dari tanaman hias merambat yang mengikuti alur dari tiang-tiang besi. Hal ini membuat jalan tersebut cukup nyaman dan adem ketika dilewati. Siapapun bisa berswafoto disana. Apalagi ditunjang dengan paving block yang dicat warna-warni serta pembatas trotoar yang juga dicat aneka warna.
Berikut beberapa foto yang berhasil saya ambil:
Foto: Dokumen pribadi |
Di beberapa tempat juga ada grafiti yang memuat pesan-pesan pencegahan pemanasan global. Pesan ini memang penting agar mengingatkan warga dan mereka yang melintas untuk peduli pada perubahan iklim.
Grafiti di salah satu tembok rumah warga. (Foto: Dokumen pribadi) |
Oleh salah satu warga, saya diarahkan ke Baperkam (Balai Pertemuan Kampung) RW 08. Disinilah etalase pencapaian dari Komunitas Secerah Pagi. Berbagai penghargaan terpajang disana. Lalu ada kumpulan dokumentasi yang melecut motivasi berbagai pihak untuk bergiat lebih baik dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Dan mata pun tertuju pada berbagai kerajinan yang terbuat dari limbah anorganik.
Pembuatan kerajinan yang terdiri atas hiasan rumah, tas jinjing, maupun mainan aneka karakter yang lucu, merupakan salah satu unit dari Komunitas Secerah Pagi yang digawangi oleh Mas Gun, Mas Anil dan Mas Heri. Hasil dari kerajinan ini dijual kepada para pengunjung Kampung Merbabu Asih, dan sebagian besarnya dijual ke dinas, instansi, dan perusahaan mitra seperti Astra dan lainnya.
Etalase kerajinan dari limbah anorganik yang dibuat Komunitas Secerah Pagi. (Foto: Komunitas Secerah Pagi) |
Di seberang bangunan Baperkam ada Kawasan Rumah Pangan Lestari yang dikelola oleh Kelompok Wanita Tani \”Secerah Pagi\”. Kawasan ini merupakan kebun, kolam terpal, dan bangunan green house. Tanamannya sangat terawat, dengan aneka ragam sayuran dan buah yang beberapa diantaranya sudah siap dipetik.
Greenhouse yang dikelola Kelompok Wanita Tani Secerah Pagi. (Foto: Dokumen Pribadi) |
Green house tersebut dianggap sebagai pusat penanaman pangan. Pasalnya di pekarangan rumah warga sendiri disarankan memiliki paling tidak empat jenis tanaman pangan. Hal ini selain menambah upaya penghijauan lingkungan, juga membantu peningkatan ketahanan pangan sebuah komunitas.
Deretan polybag yang berisi tanaman pangan ini sangat mudah ditemui di Kampung Merbabu Asih. (Foto: M. Toha) |
Dari berbagai keasrian dan kreasi yang diperagakan oleh Komunitas Secerah Pagi, maka wajar saja jika komunitas ini mencanangkan Kampung Merbabu Asih sebagai destinasi wisata. Saat ini komunitas ini memang sudah diakui dan kerap menjadi langganan studi banding maupun undangan untuk mengisi pelatihan. Namun sebagai tujuan wisata agar orang-orang awam bisa paham bagaimana daerah yang ramah iklim, tampaknya masih perlu digaungkan lebih kencang.
Bukannya tanpa halangan
Sebagaimana dituturkan Ibu Dedeh, pergerakan Komunitas Secerah Pagi bukan tanpa halangan. Hal ini telah disebutkan diawal, ada saja orang-orang yang menyangsikan tujuan komunitas ini tercapai.
Hal yang lebih mengejutkan lagi didapat dari Pak Haji Yusuf. Warga senior di kompleks ini saya temui saat mencuci mobilnya di depan Baperkam. Lewat tuturnya, saya menjadi paham bahwa perjuangan Komunitas Secerah Pagi cukup berat.
Saya berbincang-bincang dengan Pak Haji Yusuf di depan Baperkam RW 08. (Foto: M. Toha) |
\”Kompleks ini sangat heterogen, mas. Ada banyak suku disini. Kalau sukunya banyak, tentu saja agamanya pun tidak tunggal,\” ungkapnya.
Namun beruntunglah, dengan temu warga yang rutin dan komunikasi yang intensif selama hampir satu windu, heterogenitas atau yang biasa disebut ke-bhinneka-an itu bisa dijembatani dan bukan menjadi masalah lagi saat Komunitas Secerah Pagi mulai bergerak.
\”Banyak contoh nyata dari kerukunan antar umat beragama di Kampung Merbabu Asih. Salah satu contohnya adalah tempat ibadah yang berdampingan. Kemudian ketika hari raya keagamaan, semua warga saling membantu meski hanya menjaga parkir dan keamanan di depan rumah ibadah tersebut,\” tutur Pak Haji Yusuf.
Menurut Pak Haji Yusuf juga, tantangan dari pelaksanaan kegiatan Komunitas Secerah Pagi kadang-kadang muncul dari mereka yang lewat. Orang-orang yang lewat, entah naik motor, mobil maupun jalan kaki, terkadang suka membuang sampah sembarangan. Makanya warga setempat kerap menemui puntung rokok dan plastik makanan ada di jalan kompleks.
Itulah kenapa pemerintah melalui KLHK terus mencanangkan edukasi lingkungan baik lewat berbagai media massa maupun melalui Proklim Lestari. Harapannya ketika semakin banyak kampung, komunitas, dan wilayah yang tergabung, masyarakat setempatnya ikut teredukasi dalam menjaga lingkungan.
Hal ini juga yang menjadi fokus Satu Indonesia Astra. Melalui program Kampung Berseri Astra, sudah 77 wilayah, termasuk Kampung Merbabu Asih, yang terjamah program ini. Melalui program ini, sebuah ikhtiar sedang dijalankan agar bumi tetap menjadi tempat yang ramah ditinggali.
Untuk itulah mari belajar ke Kampung Merbabu Asih dan berterima kasihlah kepada Komunitas Secerah Pagi atas segala teladan yang diberikan dalam merawat bumi, agar alam tetap lestari dan mentari selalu bersinar secerah pagi.
Akhir kata, biarlah artikel ini ditutup dengan sebuah nasehat dari Ibu Dedeh. Nasehat yang sangat cocok buat siapapun yang memiliki niat dan akan memulai gerakan untuk membbuat kampung ramah iklim serupa Kampung Merbabu Asih.
\”Niat baik akan berakhir baik. Jangan pernah berpikir dan berorientasi materi serta pujian, sebab kalau dengan gerakan ini bumi yang kita tinggali ini nyaman, itu sudah lebih dari cukup.\”
Belajar Merawat Bumi di Kampung Merbabu Asih