Sabtu (31/08) pagi merupakan akhir bulan yang absurd. Salah satu keabsurdannya adalah hilangnya grup absurd Facebook \’Cocoklogi Science\’. Menurut info yang beredar, grup ini terkena take down Facebook akibat mass report.
Buat yang belum mengetahui grup Cocoklogi Science, saya beri penjelasan singkatnya.
Grup ini merupakan grup absurd, namun isinya merupakan parodi cerdas atas sistem otoriter yang berlaku di beberapa negara. Grup ini awalnya merupakan komunitas diskusi UFO.
Meskipun dianggap absurd oleh adminnya sendiri, namun kegiatan sosial grup ini cukup banyak. Hampir setiap bencana nasional, adminnya memulai donasi untuk membantu mitigasi dan pemulihan pasca bencana. Dengan hasil donasi yang cukup mencengangkan untuk ukuran grup Facebook, proses pengumpulan dan penyaluran donasi itu dilakukan denganĀ transparan dan akuntabel.
Selain banyak hal serius, grup ini tempatnya hal-hal yang viral dan lucu. Hal tersebut disebabkan meski sering muncul postingan shitpost, ada beberapa postingan cerdas juga yang membahas tema cocoklogi.
Namun buat saya, nuansa humanisme yang kerap dihadirkan oleh para pendiri grupnya membuat saya betah dan ikut kesal atas tumbangnya grup ini.
Ini bukan tumbang yang pertama kalinya. Beberapa tahun ke belakang, saat saya belum menjadi anggota, grup ini juga pernah tumbang. Saat itu baru puluhan ribu anggota.
Sewaktu tumbang kemarin, anggotanya sudah mencapai 160 ribuan. Saya masih ingat postingan yang cukup rame, yakni tentang salah satu pendiri grup, Mas Ranggie Ragatha, menyumbang 20 ekor ayam atas kelahiran anak seorang anggota grup. Setelah itu sorenya saya lihat ada yang mengunggah kalau grup ini hilang.
Mas Ranggie bahkan membuat sayembara bagi siapa saja yang tahu soal pihak pelapor yang membuat cocoklogi Science tumbang. Hadiahnya mencapai Rp50 juta. Apakah sayembara ini parodi? Buat yang tahu Mas Ranggie, tentu paham kalau sayembara ini bukan main-main.
Apakah ini soal value grup sehingga Mas Ranggie mungkin kesal dengan membuat sayembara itu? Enggak juga.
Grup Cocoklogi Science yang baru, bisa dibuat lagi. Saat artikel ini ditulis, grup Cocoklogi Science yang baru sudah beranggotakan sepuluh ribuan. Ya, dalam waktu 24 jam sudah ada anggota sebanyak itu. Jadi kalau mengeluarkan uang untuk hal yang bisa dibuat lagi, sebetulnya buat apa?
Alasannya tentu sangat masuk akal, bahwa orang-orang semacam pelapor harus diberi pelajaran. Dan saya sepakat.
Sebelum sayembara itu muncul, rumor soal siapa penumbang grup sudah muncul. Ya siapa lagi kalau bukan kelompok yang pernah viral karena dengan bangganya pernah menumbangkan grup luar negeri.
Pemimpin kelompok pelapor ini pun kena persekusi, baik di internet maupun di kehidupan sehari-hari. Ia pun tak muncul-muncul lagi.
Kejadian yang serupa terulang lagi. Ada sayembara, dan ternyata kelompok serupa pelakunya. Apakah mereka bakal kena persekusi juga? Sampai artikel ini dibuat, tim Cocoklogi Science sudah mengantongi nama-nama pelaku dan sedang berurusan dengan mereka. Kita tunggu saja hasilnya.
Sistem Facebook yang Lemah
Satu hal yang ingin saya catat disini adalah soal betapa mudahnya sebuah grup, fanpage, termasuk bahkan akun Facebook biasa, bisa tumbang dan hilang. Facebook memang menegakkan aturan, tetapi dengan berkaca pada beberapa kejadian ternyata hal tersebut bisa dimanipulasi.
Misalnya untuk kasus Cocoklogi Science. Pola pelaporannya sangat dimungkinkan menggunakan pelaporan massal. Sebab mereka merupakan tim.
Grup Facebook memang rentan, sebab semua anggota bisa posting. Anggap saja ada sebuah posting shitpost pancingan dari pelaku. Maka sepasukan pelapor bisa melakukan report pada grup tersebut sebagai penyebar hate speech maupun spam dengan mengambil posting tersebut sebagai pemicunya. Jadi ya posting sendiri, report sendiri.
Meski ini asumsi, tapi melihat gelagat kurang baik yang diperlihatkan oleh para pelaku yang tidak memiliki niat untuk memperbaiki konten, hal tersebut sangat mungkin terjadi.
Jadi dengan dengan beberapa kejadian, ada hal-hal yang bisa diambil.
Pertama, Facebook masih melihat kuantitas pelapor konten dibanding kualitasnya. Asal banyak pelapor, maka sebuah akun, grup, konten, maupun fanpage bisa tumbang dan hilang. Sepertinya penentu tumbang itu merupakan robot algoritma.
Hal ini bisa dipergunakan oleh pihak manapun yang memiliki niat jahat terhadap pihak lainnya. Serem juga.
Kedua, tidak ada media klarifikasi apapun sebelum sebuah akun, grup, fanpage, maupun sekedar konten itu tumbang dan hilang. Pengguna hanya diberi tahu kalau kontennya dihapus. Bahkan kadang tak diberi tahu sama sekali.
Admin grup hanya diberikan mekanisme banding, yang kadar keberhasilannya cukup kecil.
Jadi buat yang memiliki aset media sosial terutama Facebook, patuhi saja aturan-aturan yang berlaku. Sebab sekecil apapun pelanggarannya, bisa dijadikan bahan oleh tukang-iseng-no-life seperti pengelola grup tukang lapor itu.
Update 22 Desember 2019:
Ternyata grup lama bisa kembali lagi. Grup yang beranggotakan lebih dari 100.000 pengguna Facebook itu kembali lagi setelah sekian banyak orang berkirim sanggahan kepada Facebook. Jeda antara tumbang dan kembali sekitar dua bulan lebih.
Sayangnya, beberapa hari yang lalu grup inipun tumbang lagi. Akhirnya grup baru sebagai backupĀ yang kini berjumlah 40.000-an dimanfaatkan lagi.
Akhirnya artikel ini saya tutup dengan dua catatan buat para pengelola grup komunitas. Pertama, sebuah tim bisa menumbangkan sebuah grup Facebook dengan teknik mass report. Kedua, apabila grup itu bisa pulih, risiko tumbang lagi jauh lebih besar dibanding yang pertama.
Catatan terakhir, selalu baca-baca dan patuhi syarat dan ketentuan yang berlaku di Facebook. Apabila memakai konsep grup komunitas, buatlah filter persetujuan sebelum setiap anggota mengunggah sesuatu di grup tersebut.
Demikian, semoga umat manusia berbahagia.
Cocoklogi Science Di-Report dan Lemahnya Pelaporan Facebook