Fenomena Xiaomi yang mematok harga murah untuk setiap ponselnya, ternyata diidentikkan dengan paham komunisme. Paham ini berpandangan bahwa meraup keuntungan yang besar dianggap sebagai tindakan yang tidak adil. Begitulah kabar yang beredar sejak akhir April 2018 lalu, sebab ada yang menuliskannya secara khusus di Facebook, kemudian viral.
CEO Xiaomi, Lei Jun, dalam peluncuran Xiaomi Mi 6X, di China pada akhir April kemarin menegaskan pola bisnis Xiaomi itu. Xiaomi akan terus menjual perangkat kerasnya (ponsel pintar, IoT, serta produk gaya hidup) dengan hanya menarget untung sebesar 5% saja. Itu sudah maksimal. Harga yang dipatok ini disebut oleh Xiaomi sebagai ‘harga yang jujur’. Ya, karena memang dijual segitu pun sudah dapat untung, ya sudah. Begitu kira-kira.
Tapi apakah Xiaomi menerapkan paham komunisme?
Kalau begitu, apakah para MiFans adalah antek-antek komunis?
Apakah saya yang memakai Mi A1 pun auto-komunis?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tentu saja sah untuk ditanyakan. Bahkan mungkin sifatnya wajib untuk ditanyakan. Sebab jangan sampai karena menenteng Redmi Note 5 sama hukumnya dengan memakai kaos palu arit: haram dan wajib untuk dipersekusi. Ngeri.
Dalam membaca Xiaomi, setidaknya ada dua konteks entitas yang mesti dipisahkan sementara. Pertama, entitas Xiaomi sebagai merek asal China yang notabene memang negara komunis. Sebagai merek yang berasal dari sana, maka wajar saja nama ‘xiaomi’ mirip-mirip dengan slogan Communist Party of China. Ada lagi maskot kelinci Xiaomi yang sering memakai topi dengan tanda bintang merah di depannya. Ya namanya juga merek China, tentu jadi aneh kalau namanya Bhinneka, misalnya, dengan maskot burung garuda.
Entitas kedua adalah Xiaomi sebagai lembaga bisnis. Sebagai entitas bisnis, Xiaomi tentu mesti meraup untung sebab mekanismenya ia bukanlah lembaga sosial yang dikelola oleh negara. Apalagi pabrikan asal China ini bakal melakukan penawaran saham ke publik (IPO). IPO ini ditengarai sedang merangkak ke angka $100 miliar, sehingga menjadi yang terbesar setelah IPO Alibaba pada 2014 silam yang \’hanya\’ sebesar $25 miliar.
Saat IPO inilah semua mata pada akhirnya mengulik Xiaomi. Mulai dari model bisnis mereka, hingga hasil akhir berupa laporan keuangan. Dari sini terungkap kalau keuntungan Xiaomi pada 2017 kemarin berasal dari layanan internet, berupa aplikasi, game, serta iklan, yang bersumber dari penggunaan MIUI. Margin kotornya sebesar 60%.
Angka itu jelas cukup jauh dibandingkan sumbangan margin kotor penjualan ponsel pintar yang hanya mencapai 8,8%. Kita tentu mengetahui mengapa penjualan ponsel pintar tidak memberikan laba yang siginifikan. Sebab keuntungan Xiaomi bukan berasal dari sini.
Xiaomi juga tidak melulu jualan ponsel pintar di bidang hardware, sebab ada IoT, hingga talenan pun dijual Xiaomi. Ya serius, talenan buat memasak. Pada intinya, IPO yang sedang ditawarkan Xiaomi tentu mesti meyakinkan investor agar membeli saham mereka. Kalau begini, masa iya Xiaomi masih memberikan gimmick kalau mereka hanya mengambil untung dengan margin 5%?
Sampai disini, masih yakin Xiaomi menerapkan pola komunisme?
Mi Pop
Mi Pop pertama di Indonesia sudah terlaksana pada 5 Mei 2018. Event yang menjadi ajang berkumpulnya MiFans sekitar Jakarta itu rencananya juga akan digelar di kota yang lain di tanah air. Nah, tahun ini India sudah lebih dulu melakukan Mi Pop. Anda tahu isinya apa? Yup, perkenalan Mi Music dan Mi Video.
Kayaknya biasa saja deh, itu kan kaya Spotify sama Netflix.
Layanan Mi Music dan Mi Video memang mirip sama kedua aplikasi diatas, akan tetapi keduanya tersambung dengan bahasan kali ini. Kedua aplikasi ini berjalan dalam platform sistem operasi MIUI dalam ponsel Xiaomi kecuali Mi A1. Artinya semakin banyak ponsel Xiaomi digunakan, semakin banyak pula potensi kedua aplikasi tersebut dipakai.
Xiaomi melakukan pelacakan terhadap aktivitas kita di internet. Dengan cara itu, Xiaomi kemudian menghadirkan aplikasi semacam Mi Music dan Mi Video diatas, atau aplikasi apapun di internet dimana aplikasi tersebut masih buatan Xiaomi. Xiaomi mendapatkan dua hal: data pengguna di internet dan aplikasinya terinstal.
Setelah aplikasi itu diinstal, Xiaomi pun memberikan iklan tertarget sebab data perilaku pengguna sudah didapatkan. Semuanya dilakukan di dalam ponsel Xiaomi. Apakah semuanya legal? Ya tentu saja. Cara seperti ini sudah dilakukan oleh Google maupun Facebook.
Hal-hal semacam itu diungkapkan dalam proposal IPO Xiaomi. Proposal itu setidaknya berisi tentang cepatnya perkembangan Xiaomi dalam melakukan penetrasi di bidang mobile payment, e-commerce, media sosial, dan layanan berbasis video. Itu semua bakal terlaksana dan sukses apabila Xiaomi sudah punya banyak pengguna. Saat ini, pengguna aktif MIUI sudah ada 190 juta.
Ada dua data untuk menguatkan pendapat diatas.
Sejak tahun 2015, pendapatan Xiaomi berkutat pada dua hal, yakni berasal dari ponsel pintar dan dari layanan internet. Uniknya, angka kedua pendapatan ini tidak terpaut begitu jauh meskipun tahun terus berganti.
Begitu juga dengan keuntungan penjualan ponsel dengan pendapatan yang bersumber dari pengguna. Nilainya tidak terpaut begitu jauh dari tahun ke tahun. Artinya, ketika Xiaomi menjual ponsel dengan harga yang rendah, mereka bisa menutupi ‘celah’ tersebut dengan menggenjot keuntungan di layanan internet.
Itu berarti semakin banyak ponsel Xiaomi terjual, semakin tinggi pula profit yang didapatkan Xiaomi meskipun harga ponselnya sendiri sering dibilang tidak masuk akal. Kalau keuntungan terus didapatkan dengan menjual ponsel yang murah, kenapa harus dijual dengan harga yang mahal? Lalu mengapa masih disebut komunis? Ya, embuh.
Dibalik Ponsel Murah Xiaomi dan Tudingan Komunisme, Ini Faktanya